029 - Semesta Menjaga

13 3 0
                                    

Happy Reading^^

•••

Tidak peduli sehancur apa gue, lo harus aman. Terima kasih semesta telah menjaga jika aku tidak di sampingnya.
—Arundaya—

•••


"Ada apa, Mbak?" tanya bapak itu sedikit takut, ia melihatku penuh keheranan. "Itu ... itu ... dia mau membunuh saya, Pak."

Ucapanku tersenggal-senggal, semoga bapak ini mengerti. Saat melihat Ajiel datang, syukurnya bapak ini langsung menghalaunya. Dia memintaku agar segera berlari. Namun, aku bukanlah orang yang dikasih air susu lalu kubalas dengan air tuba.

Di tengah mereka baku hantam, aku menelpon pihak berwajib dan Alun. Aku sampai melupakan jika saat ini ia tengah berduka. Beberapa panggilan tidak dibalas, jantungku terasa berhenti ketika melihat bapak itu sudah babak belur dan sepertinya tidak bisa melawan Ajiel.

Aku celingukan, kenapa tidak ada kendaraan atau orang yang lewat. Ke mana semua orang.

Brak!

Sedikit ngilu melihat Ajiel memukul perut bapak itu keras sampai tumbang, aku hendak menghampirinya. Namun, Ajiel lebih dulu menghampiriku. Bodohnya, aku baru sadar ia membawa pisau ketika dia sudah sangat dekat.

Suara sirene mobil polisi terdengar, Ajiel sedikit kalang kabut. Dia ingin segera menghabisiku.

Srek!

Aku memalingkan wajah, kupikir pisau itu akan mengenai tubuh, ternyata mengenai lengan seseorang yang menjadikan tubuhnya tameng.

"Alun?" Aku mendongak, melihatnya. "Lo nggak papa, Ra? Lo baik-baik aja, 'kan?" Hanya gelengan sebagai respon, masih sedikit syok dengan apa yang terjadi.

"Alun ...," lirihku kemudian melihat Ajiel diringkus polisi. "Alun, bapak itu ...."

Alun paham apa yang ingin kusampaikan, ia membantu bapak itu masuk ambulan. Tidak peduli darah mengucur deras dari lengannya.

Laki-laki yang masih mengenakan baju serba hitam itu membantu sampai ke rumah sakit, bahkan biaya pengobatan kami yang nanggung.

Selama perjalanan Alun tidak jauh dariku, ia terus merangkul bahuku. Mungkin dia tahu, sepanik apa diriku. Dia ingin menenangkan.

"Lukanya nggak diobati?" Saat menunggu di depan ruangan bapak itu ditangani, Alun tidak berhenti memandangku. Setelah kucerita apa yang telah terjadi, tatapan Alun sulit diartikan. "Cuma luka kecil. Entar aja, lo nggak papa?"

Dia mengusap lenganku pelan, sekadar ingin memastikan jika tidak ada sesuatu buruk terjadi kepadaku.

"Nggak papa, lo nggak usah khawatir."

"Gimana gue nggak khawatir, Ra? Denger si brengsek mau menghabisi lo!" Tatapannya begitu tulus, detik selanjutnya dia menarik tubuhku dalam dekapan. "Lun, are you okay?"

Justru aku yang khawatir perihal keadaannya, aku merasakan air mata yang jatuh di kepala. "Cukup Nenek yang pergi."

Sadar ke mana arah pembahasannya, aku mengusap pelan punggung Alun. "Maaf, udah ngerepotin."

"Nggak usah minta maaf, gue yang harusnya minta maaf karena udah telat." Suara Alun terdengar serak, seakan menahan tangis. "Kalau mau nangis, nangis aja nggak papa."

"Nggak papa," ujarnya melerai dekapan, ia menarik garis senyum kemudian mengusap kepalaku. "Tidak peduli sehancur apa gue, lo harus aman," lanjutnya membuatku hampir mengeluarkan air mata.

Warna untuk Hera [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang