017 - Berbagi

16 3 0
                                    

Happy reading^^

•••

Apapun masalah keluarga kata bunda jangan biarkan orang lain tahu.
—Hera Sandyakala

•••

"Ra, lo nggak papa?" tanya seorang laki-laki yang berdiri di sampingku, aku menggeleng. Mencoba tersenyum meski tahu ini sangat berat, masih belum menerima jika harus berbagi acara ulang tahun.

Kami hanya selisih satu hari, tapi tidak bisakah ia merayakannya di tempat lain setidaknya jangan di acaraku.

Kompak meniup lilin bersama di kue masing-masing, tak lama bunda, bapak, dan kedua orang tua Alun mengucapkan selamat kepada kami. Aku langsung tersadar akan sesuatu, pantas saja keduanya hadir ternyata perayaan ulang tahun Alun juga.

"Sekali lagi, selamat ulang tahun, Ra. Semoga bahagia," ujar Alun menatapku dengan binar kebahagiaan di kedua netranya. "Lo nggak mau ngucapin selamat ke gue?" imbuhnya.

"Hbd," ujarku singkat kemudian beranjak pergi, ya aku harus mengantar kue ini ke kak Banyu membiarkan Alun dengan banyak pertanyaan, mungkin ia merasa aku sedikit berbeda malam ini. Menggunakan kata singkat dan sama sekali tak melihatnya itu bukan Hera yang ia kenal.

Ah, sepertinya tidak. Alun masih sangat menikmati acaranya, bahkan di podium mini tersebut ia menyuapi bunda, bapak, dan kedua orang tuanya bergantian. Alun mengalungkan medali hasil cerdas cermat minggu lalu kepada mama dan memberikan sertifikat kepada bunda.

"Tanpa doa kalian, mungkin Alun tidak bisa berhasil seperti ini," kata Alun tersenyum lebar, fotografer mengabadikan momen tersebut apalagi saat Alun memeluk kedua wanita hebatnya.

"Lo mau ke mana, Ra?" tanya Cesya yang berada di sisiku, ya sejak tadi aku turun dari podium. Rasanya malas bersebelahan dengan laki-laki yang mendapatkan kasih sayang dari banyak orang sampai-sampai kasih sayang bunda juga ia ambil. "Ke kamar mandi bentar," balasku dengan nada sedikit kecut.

Sungguh pemandangan yang tak pernah ingin kulihat lagi, aku membencinya. Ya, aku benci Alun. Bukankah ia sudah memiliki mama yang menyayanginya? Lantas, kenapa harus mengambil bundaku juga, menyebalkan.

Acara masih belum selesai, tapi aku sudah mengunci diri di kamar. Mengganti gaun dengan baju tidur dan membersihkan polesan make up, memang untuk apa lagi aku di sana. Bukankah sudah tidak penting.

Sengaja kumatikan lampu kamar, agar tidak terlihat ada orangnya. Merebahkan diri di kasur empuk milikku ternyata jauh lebih nyaman daripada harus berada di acara yang berantakan.

"Ra, lo di dalem?"

Shit! Baru saja 15 menit olehku memejamkan mata, sekarang ketukan pintu terdengar. Lebih tepatnya gedoran, tidak sabaran banget.

"Lo kenapa? Lo nggak papa, 'kan?" tanyanya masih menggedor pintu, aku tahu itu siapa. Suaranya cukup familiar. "Nggak papa mata lo, acara gue jadi berantakan gara-gara lo," dumelku seraya menyibak selimut.

Jika tidak dibuka bisa gila tuh anak, aku membukanya setengah. "Ada apa? Gue mau istirahat, capek."

"Lo yakin mau istirahat? Acara baru aja dimulai," kata Alun mencoba membujukku, ia mendorong pintu kamar hingga terbuka sempurna. Tanpa meminta izin, dia masuk dan menyalakan lampu. "Lo beneran mau tidur?"

Dia mengecek suhu badanku, mungkin khawatir aku drop lagi karena baru kemarin keluar dari rumah sakit. Hanya anggukan, membiarkan dia memutuskan apa yang akan ia lakukan selanjutnya.

"Lo nggak bahagia?" Aku terdiam, mengalihkan pandangan darinya. Di sisi lain aku tidak bisa berbohong kepadanya, tapi perhatian bunda kepadanya ....

"Apa urusan lo? Ayolah, gue pengen tidur." Sedikit dengan paksaan, aku mendorongnya keluar kamar. "Kalau lo nggak suka acara kayak gini, gue bisa minta Bunda menghentikan acara ini gimana?"

Warna untuk Hera [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang