010 - Luka Kecil

24 4 0
                                    

Happy reading^^

•••

Benar kata orang untuk melihat manusia, kita memerlukan banyak sudut pandang.
—Hera Sandyakala

•••


Bola basket yang tadi Nano masukkan ke ring jatuh sedikit terpental dan sekarang menggelinding ke arahku, tak membuang kesempatan segera kuambil bola basket tersebut, kemudian mendrible sebentar sebelum masuk ke dalam ring.

"Lo mau ngomong apa?" Nano sengaja menangkap bola basket dan membawanya, dia seolah tak memberiku kesempatan untuk memainkannya lagi. "Tadi gue sempet disuruh Alun buat ngasih tau lo."

Sumpah! Ini cowok tidak ada rasa pekanya sama sekali. Kalau biasanya orang akan bertanya 'ngasih tau apa?' Nano malah diam, dia menunggu perkataan yang sempat terjeda.

Baiklah, aku mengalah. Sebelum melanjutkan helaan napas terdengar dengan jelas, sudah mulai jengah dengan sikap Nano.

"Kata Alun pelajari materi matematika kelas sepuluh, dia dapet kabar dari KETUPEL ada soal itu." Nano mengangguk, tidak ada respon sama sekali.

Terkadang sikapnya membuat bingung, Nano kadang ramah kadang juga cuek kayak bebek. Mau heran, tapi dia Nathan Alvino seorang laki-laki yang sulit ditebak.

"Lo denger gue, 'kan?" Tak lupa aku memegangi telinga, khawatir nih anak budeg beneran. "Hm. Gue kira lo ke sini buat caper sama gue."

Uhuk...

"Apa? Caper sama lo? Are you crazy? Boro-boro caper, deket sama elo aja gue rasa nggak ada cewek yang tahan sama sikap lo," kritikku pedas, tak mempedulikan perasaannya. Sesekali membalas perkataan orang yang tidak peduli perasaan.

"Ada."

"Halu kali lo." Duh, bukannya berdamai dengan Nano perdebatan ini malah membuatku semakin kesal kepada Nano. "Nggak."

"Kalau ngomong yang panjang dikit napa! Nggak setiap orang ngerti maksud lo." Aku membuang napas kasar, sudah lelah. "Gue nggak minta dimengerti."

"Dih, siapa juga yang mau ngertiin lo," jawabku masih belum mau berhenti, sepertinya aku mulai lupa apa permintaan Alun. "Lo?"

Nano menunjuk dahiku seenak jidat, aku membalas tatapan mautnya. Jika dia bisa menatap tajam, kenapa aku tidak.

"Kenapa?" tantangku menggertak.

"Berhenti ganggu gue." Hanya satu kalimat, tapi berhasil mengacaukan suasana hati. "Ganggu? Kurang kerjaan banget gue. Lagian kalau bukan karena Alun ... gue nggak akan pernah mau ngobrol sama lo!" tandasku.

"Serah lo!"

Nano keluar dan mengambil lembaran kertas di pojok lapangan, dengan membawa bola basket. Aku yang masih melihat punggungnya semakin lama semakin menghilang dari pandangan.

"Nggak waras!" Entah sudah berapa kali umpatan kasar keluar dari mulutku yang jelas rasanya masih belum puas selagi belum bisa menyanggah ucapan Nano.

*****

"Dia nyebelin, Lun. Pengen gue cekik rasanya!" Setengah kesal aku menutup jendela kemudian menghempaskan tubuh ke kasur empuk berukuran sedang.

Ekor mataku melirik tumpukan buku yang masih belum tersentuh sama sekali, bagaimana bisa belajar dengan hati yang menahan kesal ditambah orang yang biasanya kujadikan tempat bercerita tidak di sini.

Kami hanya berkomunikasi lewat via telepon, itu pun jika jaringan tidak buruk dan Alun tidak sibuk, padahal baru sehari entah mengapa terasa kosong. Bunda, bapak, dan kak Banyu sudah di rumah. Namun, entah mengapa hatiku berkata masih ada yang kurang. Alun hanya anak sahabat bunda, tetapi seolah menjadi bagian keluarga.

Warna untuk Hera [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang