Happy reading^^
•••
Dia hanya anak tetangga, tapi kenapa sayang bunda begitu luar biasa untuk Alun?
—Hera Sandyakala—•••
Perlahan aku membuka kedua kelopak mata, hanya beberapa kedip semuanya nampak nyata. Namun, tubuhku masih terasa lemas bahkan untuk mengucapkan satu kata saja terasa sulit, tenggorokanku terasa serak.Mataku menelisik sekitar, ruangan asing. Aku langsung tahu sekarang di mana ketika selang infus terpasang di tanganku.
"Bunda ...," lirihku masih mencari bunda di tengah energi yang sempat terkuras habis, aku menoleh ke sana kemari, ruangan ini benar-benar kosong. Di mana semuanya?
Saat melihat kaca transparan di samping kanan, seorang wanita memeluk erat laki-laki. Terlihat sangat bangga apalagi di sekeliling mereka banyak remaja mengenakan seragam SMA Bumantara.
"A—lun?" suaraku masih terbata-bata, belum bisa memanggil mereka ditambah ruangan ini mungkin kedap suara hingga Cesya notice kesadaranku. Dia nampak memberi tahu semuanya.
Ruangan yang tadinya sepi, kini terasa penuh. Ada bunda, Alun, kak Banyu, Cesya, dan Xabiru untung ruang ini lumayan luas. Jadi, tidak terasa pengap.
"Lo nggak papa, Her?" Alun langsung ke samping kiriku, sedang bunda di samping kanan ia menawari untuk minum. "Kenapa Hera di sini, Bunda?"
Setelah meletakkan gelas di meja, bunda menjelaskan jika demamku meninggi ditambah akhir-akhir ini aku melewatkan waktu makan.
"Tapi anak bunda kuat, 'kan?" Bunda mengusap kepalaku singkat, kemudian menciumnya penuh cinta. "Tadi Hera pingsan?"
Bunda mengangguk kemudian berkata, "Untung Alun siap siaga langsung bawa kamu ke rumah sakit." Aku mengangguk paham, ternyata laki-laki yang berlari ke arahku adalah Alun.
Aku masih memikirkan kejadian tadi, bunda memberi ucapan selamat untuk Alun atas kemenangan cerdas cermat, tetapi kenapa bunda tidak memberi ucapan selamat kepadaku juga? Bukankah aku juga pemenang? Lagi aku tidak pernah mendapat tatapan se-bahagia itu dari bunda saat memenangkan sebuah kompetisi atau peringkat tiga besar.
"Oh, ya bunda sama Alun ke kantin dulu, ya? Beli makan siang untuk Alun kasihan dia dari tadi nunggu kamu sadar jadinya belum sempat makan siang, okay? Kamu sama kakak dulu." Meski aku mengiyakan, rasanya masih aneh ketika bunda lebih perhatian kepada anak tetangga itu. "Lo mau makan?" tawar kak Banyu.
"Nanti aja, Kak," jawabku apa adanya, masih belum minat. "Eh, Ra. Tadi so sweet banget tau."
"Kenapa?" tanyaku pada Cesya yang antusias hendak bercerita. "Alun gendong lo sampai rumah sakit, terus di sampingnya Nano terus mendampingi kalian. Spesial banget, ya Tuan putri ini."
Kak Banyu hanya geleng-geleng kepala, batinnya mungkin Cesya adalah remaja yang mudah sekali mleyot dengan hal-hal manis yang terbilang manis.
"Nano?" Yang menyita perhatianku malah cowok kulkas itu, tumben dia khawatir kayak gitu. "Iye, dia cemas lihat temen cerdas cermatnya tumbang di pangkuannya," goda Xabiru tertawa renyah.
"Hah? Maksud lo?" Aku tak mengerti, dengan senyum menyebalkan Cesya memberi tahu bahwa. "Emang lo pikir tadi lo terjungkal ke lantai?"
"Anjir terjungkal nggak tuh," sahut kak Banyu tertawa, sungguh kak Banyu itu welcome dan asyik sama temen-temenku tak jarang mereka biasa saja kalau sama dirinya. Udah berasa bestie.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Novela Juvenil"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...