Happy reading^^
•••
“Kalau ada problem harus diomongin, jangan sampai ada sesuatu yang ngerundel di hati. Apalagi mendekati hari lomba. Usahakan tetap jaga kekompakan minimal sampai lomba.”
—Arundaya—•••
Setelah mengunci perpustakaan, aku dan Alun berniat mengembalikan kunci ke rumah pak Umar karena beliau sudah pulang.Sedari tadi kuperhatikan Nano masih berusaha menyalakan motornya, dia sedikit kesulitan. Baru setelah Alun mengenakan helm dan jaket ia mencoba menghampirinya, ya mau tak mau aku harus ikut.
"Kenapa, Bro?" tanya Alun membuat Nano menghentikan aktifitasnya. "Nggak mau nyala, biasalah motor tua," candanya.
"Sini biar gue coba," saran Alun membuat laki-laki itu mundur beberapa langkah, memberikan Alun ruang. "Bukannya lo pakai motor cb, ya? Tumben pake motor ini?"
"Kepo." Benar-benar menyebalkan, padahal aku nanya baik-baik, eh balasannya kurang asem. Baiklah, lebih baik memutuskan diam daripada sakit hati lagi dengan jawaban Nano.
Sampai akhirnya mesin motornya nyala, Alun menepuk punggung Nano singkat kemudian berkata, "Udah noh, hati-hati."
Dia mengajakku kembali ke motor dan segera naik, "Thanks, Lun."
"Santai, Bro." Alun itu definisi orang yang mudah care. Padahal baru beberapa hari yang lalu kudengar ia memaki Nano, tapi sekarang udah kayak sahabat dekat.
Di gerbang sekolah lampu sein sebelah kanan menyala, refleks Nano bertanya, "Mau ke mana? Bukannya rumah kalian belok kiri?" tanyanya singkat.
"Nganter kunci perpus ke pak Umar," balasku setengah sinis, siapa suruh tadi jawabnya nggak enak. Kini gantian, ternyata prediksi meleset yang kukira Nano akan kesal, rupanya malah menawarkan agar kunci perpus dia yang mengembalikan ke pak Umar. "Nggak ah, ngerepotin elo jatuhnya!"
Nano menggeleng sembari membenarkan pengait helm miliknya, "Lagian gue searah."
Tanpa banyak kata aku segera menyerahkan kunci itu kepada Nano dan mengatakan terima kasih. "Matiin lampu sein-nya, Lun. Ganti ke kiri."
Alun setengah kebingungan sebelum ia menurut, kami pamit ke Nano untuk cabut dulu karena Nano masih menunggu jalan raya sedikit sepi dari kendaraan agar bisa menyebrang.
"Cielah dapet bestie baru!"
Aku sedikit mengeraskan suara agar Alun bisa mendengar dengan jelas, waktu sampai di lampu merah dia sedikit mengerem mendadak sontak aku meneloyor helm-nya.
"Anjir! Mana ada! Biasa ae elah, lagian kita itu harus jaga kekompakan sebelum lomba," elak Alun sedikit tertawa. "Tapi kayaknya gue nggak bisa deh akrab sama Nano, lo tahu sendiri, 'kan dia itu menyebalkan."
Alun sedikit tertawa mendengar ucapanku. "Bisa saja, Heri! Lo tau kalau ada problem harus diomongin, jangan sampai ada sesuatu yang ngerundel di hati. Apalagi mendekati hari lomba. Usahakan tetap jaga kekompakan minimal sampai lomba selesai."
"Nggak bisa, Lun! Dia tetap Nano yang aneh. Emang apa pengaruh kekompakan sama lomba? Nggak ada." Aku menyilangkan kedua tangan di depan dada. "Ada," jawabnya dengan cepat.
"Kalau kita nggak kompak yang ada buyar konsentrasi kita," lanjut Alun nampak serius. "Bentar, lo serius amat lomba ini kenapa?"
"Ini adalah kali pertama gue ikut event sekolah, Ra. Gue pengen menang terus bawa piagam penghargaan itu ke Bunda. Kalau lo mungkin udah biasa. Gue minta tolong, ya, Ra. Sekali ini doang bantu gue," mohon Alun masih tidak ada raut bercanda, kurasa dia memang benar-benar serius. "Lun?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...