Happy reading^^
•••
Apapun yang terjadi ke depannya, apapun itu kita harus menghadapi bareng.
•••
"Astaga, Lun?" Jantung rasanya hampir copot mendengar teriakannya, aku langsung menuntun Alun ke wastafel untuk mengaliri tangan yang habis ketumpahan air panas dengan air keran. "Pelan-pelan, Ra.""Iya, ini juga pelan." Aku menoleh, melihat wajahnya yang menahan agar tidak memekik kesakitan. "Lo mau buat apa, Lun sampai kayak gitu?"
Kak Banyu ikut mengecek tangan Alun, dia menggeleng. Memang nih anak satu suka ada aja tingkahnya.
"Kopi, Kak. Udah, Heri. Lo nggak usah khawatir cuman luka kecil," balasnya menyengir, sungguh aku mengembungkan pipi. Mana ada luka kecil, orang sampai teriak kayak gitu.
"Biar gue lanjutin, lo pada tunggu di ruang keluarga aja," saran kak Banyu yang masih membersihkan air yang tumpah di lantai. "Aku bantuin, Kak?" tawarku.
"Nggak usah, mending lo pindahin kacang itu ke toples biar entar bisa dimakan!" pinta kak Banyu menunjukkan totebag yang berisi beberapa bungkus kacang, aku mengiyakan.
Berbeda dengan Alun yang bantuin kak Banyu mengaduk secangkir kopi, tidak memiliki trauma sedikit pun. Padahal baru saja ketumpahan air panas.
Setelah semuanya beres dan dapur sudah bersih, kami bertiga memutuskan untuk ke ruang keluarga, baik Alun maupun kak Banyu melihat balapan motor. Sebenarnya tidak begitu menarik bagiku. Namun, tetap saja masih di sini hanya untuk sekadar menemani mereka.
"Bapak udah tidur, Lun?" tanya kak Banyu membuat Alun mengangguk. "Tadi gue pas ke kamarnya bapak udah istirahat."
"Bunda?" timbrungku. "Belum, masih beresin meja tadi, nggak tahu sekarang."
Aku hanya ber-oh riah seraya mencomot kacang yang toplesnya berada di pangkuanku. Baru saja mulai, keduanya nampak serius dan tidak ingin diganggu.
"Lun, lusa lo masuk sekolah?"
"Hm." Alun tidak menoleh, dia bahkan tidak menjawabku. "Aelah, kalau ditanyain itu jawab nggak ham hem doang!" kesalku.
Selepas menghela napas, Alun menoleh. Ya Alun dan kak Banyu duduk di karpet bawah, sedangkan aku di atas sofa. Seperti biasa dia mengusap gemas kepalaku hingga rambut berantakan.
"Iya, Heri. Iya, astagaa!" serunya sedikit tertawa. "Idih idih." Terpaksa harus merapikan kembali.
Pasti nanti pasangan Alun beruntung dapet cowok kayak dia, meski nyebelin dia tipikal cowok peka, batinku melihat gerak gerik Alun.
"Ya iyalah, gue tuh emang cowok paling peka sedunianya." Spontan mataku mendelik, apa Alun bisa membaca isi hatiku?
"Bisa, 'kan kita kembar, dari perut bunda sama-sama," jawabnya lagi. "Buset! Woilah, ngadi-ngadi lo."
"Hahaha, Heri Heri. Euhm, Ra. Gimana kabar Cesya? Udah putus belum sama Gara!" Tanpa babibu aku memukul bahunya dengan bantal. "Anjir, lo masih ngarepin Cesya? Dia udah adem ayem sama cowoknya bege!"
Alun mengusap bahunya, kemudian berkata, "Terlalu banyak kenangan sama dia."
"Kenangan-kenangan! Lo belum jadian juga sama dia," kataku sedikit nge-gas. Kupikir Alun sudah merelakan Cesya, ternyata belum. "Terus lo nungguin dia putus? Entar pas putus lo deketin tanpa kasih kepastian? Freak banget lo jadi cowok."
Dia hanya mendengarkan dengan seksama, tanpa berani memotong apalagi menyahuti. "Inget, Lun. Cewek itu butuh kepastian! Bukan jajanan."
"Sedang menyuarakan isi hati, Ra ...," lirihnya masih sempat kudengar. "Masalahnya Cesya sahabat gue, jangan harap lo bisa nyakitin dia. Gue gibeng yang ada!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...