Happy reading^^
•••
"Ruang baca itu menyenangkan, tapi mendadak hampa ketika kita menghirup oksigen di ruangan yang sama."
—Hera Sandyakala—•••
Akibat dari perkataan Nano yang kurang menyenangkan aku langsung menghampirinya, dia masih tenang dengan tangan yang bersedekap dan punggung bersandar di pohon mangga dengan Xabiru, teman kelas kami."Lo ngomong apa tadi? Gue nggak denger soalnya?" tanyaku meminta agar Nano mengulang perkataannya, aku memang sangat nekat. Namun, bagaimana bisa seorang perempuan menerima ketika ada yang mengatakan dirinya murahan. "Murahan!" ujarnya dengan senyum menyungging.
Aku memejamkan mata sebelum mengatakan, "Kenapa? Iri?" Bahkan aku sendiri tidak tahu apa yang telah terucap, selain marah ucapan itu juga murni karena spontanitas.
Hal ini juga karena Alun, bisa-bisanya dia menghilang setelah menggandengku seakan tidak ingin menyanggah atau setidaknya membantu melawan argumen dari Nano.
Beberapa teman tertawa dan memilih meninggalkan kami, seakan tidak ingin ikut campur karena mereka tahu Nano kalau ada yang ikut campur urusannya, maka bisa dipastikan akan mendapat masalah. Akan tetapi, masih memantau dari jauh.
"Iri? Untuk apa? Ini lingkungan sekolah, bukan area pacaran kalau lo lupa."
Dep!
Ngena banget sampai ulu hati, nyaliku menciut. Tatapan yang tadinya tajam kini berangsur turun, aku tahu sikap Alun memang salah, tapi perkataan Nano juga tidak bisa dibenarkan.
Nano masih tersenyum miring dengan santai dia menurunkan tangan dan menambahi, "Kenapa? Bener 'kan apa yang gue bilang, buktinya lo nggak bisa jawab."
"Gue ...." Bodohnya aku malah tergagap dalam menjawab, sudah tak kuasa melihat dirinya, ya aku kehilangan rasa percaya diri semenjak tatapan Nano yang mengintimidasi membuatku kalut. Rasanya ingin menghilang sementara dari bumi. Bingung mau jawab apa, otak juga rasanya berhenti berpikir.
Mulai kudengar bisik-bisik dan tak jarang, mereka tertawa kecil mungkin menertawakan kebodohanku.
"Ananda Nathan Alvino dan Ananda Hera Sandyakala silakan ke sumber suara!" Sontak suara Pak Rais memecah kebisingan lapangan, kami segera menemuinya. Duh, ini malunya sampai dua kali. Pertama digandeng Alun dan kedua dipanggil lewat toa yang suaranya terdengar hingga jalan raya.
Mungkin sejak aku menghampiri Nano pak Rais sudah memperhatikan gerak-gerik kami dan sekarang langsung diberi hukuman, membersihkan perpustakaan yang berdebu dengan Nano.
Tadi Nano sempat mengelak, dia merasa tidak salah dan menjelaskan bagaimana kronologi sebenarnya. Namun, dengan tegas pak Rais menjelaskan jika alasan beliau menghukum karena kami membuat kegaduhan yang menganggu persiapan petugas upacara. Dia menerima, mungkin masih setengah hati terbukti saat menyapu wajahnya terlihat jengkel apalagi saat tak sengaja menatapku.
Jangan kalian berpikir menjalani hukuman bersama Nano bakal seperti di film-film romantis, kenyataannya tidak sama sekali. Jangankan mengobrol, untuk melihat keberadaanku saja sepertinya tidak peduli. Dia hanya menyapu dari ujung sampai ujung.
Ruang baca yang harusnya menjadi menyenangkan, kini mendadak hampa ketika terjebak bersama Nano sesekali aku melihat keluar jendela, mereka sedang melaksanakan upacara.
Aku menyipit mencari keberadaan seseorang yang harusnya juga mendapat hukuman yang sama, Alun menyebalkan. Cukup kali ini saja mendapat hukuman bersama Nano untuk kedepannya mungkin tidak akan pernah lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...