Happy reading^^
•••
"Nona, senyumanmu begitu merekah. Apakah dirimu tidak memiliki beban hingga tersenyum begitu indah sampai-sampai membuatku ingin terus melihatnya.”
•••
"Ini teras toko siapa, Lun? Gue takut entar tiba-tiba dibuka terus kita dimarahi." Sial, baru sepuluh menit berkendara hujan lebat mengguyur kota ini akibatnya mau tidak mau kami berhenti toh tidak membawa jas hujan juga.
Parahnya bukan di halte atau tempat umum, Alun justru menghentikan motor di salah satu toko entah siapa pemiliknya.
Aku terus menggosok-gosok kedua tangan dan meniupnya kemudian mengusapkan ke pipi, berharap bisa menghangatkan. Sadar, aku yang mulai kedinginan Alun melepas jaket kemudian memakaikannya kepadaku.
"Nggak usah entar lo kedinginan juga, toh gue juga udah pakai jaket sendiri!" tolakku hendak melepas jaket berwarna hitam tersebut, tapi langsung dihentikan olehnya. "Lo selalu kedinginan pas ujan, nggak usah bandel. Entar pas pulang langsung minum coklat hangat."
Kadang aku merasa Alun masih seperti bocah baru bisa bicara kalau sama bunda, tapi kalau hanya kita berdua ia memposisikan diri menjadi kakak yang senantiasa melindungi dan tidak membiarkan aku kesulitan sedikit pun.
Bohong jika aku tidak baper ketika Alun memberikan perhatian demi perhatian kecilnya, bahkan dia mengingat hal-hal kecil seperti coklat hangat adalah minuman favoritku ketika usai hujan-hujanan. Namun, meski begitu mengapa aku tidak bisa mencintai layaknya remaja lainnya yang begitu mudah saat diberikan perhatian.
"Mau gue peluk?" tawar Alun membuatku menggeleng, ini saja sudah lebih dari cukup. "Jangan sampai sakit, Ra." Aku mengangguk.
Kamu pernah menonton film My Heart? Aku pernah membayangkan jika aku adalah tokoh Rachel sedang Alun adalah Farel dan Cesya adalah Luna. Namun, lagi-lagi aku salah meski sudah belasan tahun bersama, aku tak pernah memiliki rasa kepada Alun.
"Lun?" Alun menoleh, sekilas ia melirikku kemudian fokus pada hujan. Sepertinya dia memikirkan cara bagaimana bisa pulang dengan cepat. Untuk menerobos pun tidak memungkinkan, hujan masih deras. "Alun!"
"Bacot, Heri! Ada apa?" Alun mengusap telinga bergantian setelah kuteriaki namanya. "Gimana kalau gue suka sama elo?"
Deep!
Sepertinya dia sangat terkejut, tidak. Lebih dari kata terkejut padahal aku hanya iseng. Namun, Alun menganggap ini serius. Dia sedikit geser, memberi jarak.
"Coba ulangi, Ra. Gue suka budeg orangnya," ucapnya masih tertawa kecil, seakan menganggap ini adalah lelucon. Aku mengulangi perkataan yang sama.
Dia nampak gelisah, aku tidak tahu apa penyebabnya yang jelas raut wajahnya langsung berubah. "Lun? Gue cuman bercanda doang, santai ae!"
Aku sedikit menertawakan sikap konyolnya, tapi Alun masih diam. "Jangan bercanda masalah ginian, Ra."
"Maaf."
Alun tidak menjawab, apa dia merajuk? Duh, repot kalau gini. "Lo marah?" Ia menggeleng, sembari menatapku lekat-lekat.
"Ra, dengerin gue. Sampai kapanpun kita nggak akan bisa bersama," ujar Alun penuh penekanan. "Kenapa?" tanyaku santai.
"Tanya ke Bunda."
"Lupakan! Gue cuma bercanda tadi, ayolah! Gue nggak mungkin suka orang tengil kayak lo." Aku tersenyum hangat sembari menepuk bahu Alun, seakan mengatakan semua ketakutan ini tidak akan pernah terjadi.
*****
"Arundaya?" Pak Rais mengabsen kami satu persatu, saat tiba nama Alun aku berkata, "Izin, Pak."
Hari ini Alun tidak masuk dikarenakan menjenguk neneknya yang sedang sakit, jadi tadi aku berangkat sendiri. Awalnya Alun mau ngantar, tapi nggak keburu karena banyak panggilan masuk kepadanya, meminta agar segera ke rumah sang nenek.
"Ke mana, Ra?" tanya Cesya dengan nada berbisik, takut dimarahin pak Rais karena ngobrol sendiri. "Jenguk Neneknya," jawabku apa adanya.
Rada sepi kalau Alun tidak masuk karena biasanya Alun suka iseng di kelas dan kami sering berdua, semenjak Cesya jadian. Bahkan, waktu istirahat pun aku di kelas sendiri sedang Cesya ke kantor untuk mengajari adik kelas yang akan Porseni beberapa minggu ke depan, tak heran sih jika Cesya diminta untuk menjadi tentor pasalnya dua tahun lalu dia menyabet juara 2 Porseni dalam bidang catur.
Awalnya Cesya mengajakku, tapi aku tidak ingin menganggu konsentrasi mereka. Di tambah kalau di sana mungkin mudah bosan karena aku sendiri tidak begitu mengerti catur.
Bugh!
Refleks aku menoleh ke sumber suara, beberapa buku yang ditumpuk rapi di meja guru jatuh berserakan. Ah, iya mungkin karena tumpukan yang terlalu tinggi.
Aku segera membereskannya daripada nanti tidak keburu dan guru masuk kelas, tidak enak dipandang.
"Apa ini?" Aku membuka beberapa kereta yang jatuh dari sebuah buku. "Fly me to the moon."
Mulai kubaca lembaran itu.
"Nona, senyumanmu begitu merekah. Apakah dirimu tidak memiliki beban hingga tersenyum begitu indah sampai-sampai membuatku ingin terus melihatnya.”
"Kata orang jika ingin membuat wanita kecewa hilangkan senyumannya, tapi bagaimana bisa aku menghilangkannya? Jika senyummu adalah obat yang paling mujarab.”
Estetik sekali, punya siapa ini? batinku masih bertanya-tanya karena setauku murid laki-laki di kelas ini gesrek semua, nggak ada yang bener. Kecuali ....
"Nano?"
"Kembalikan!"
Jantungku terasa berhenti ketika mendengar suara cowok di belakangku, perlahan. Namun, pasti aku berbalik badan. Oh, Tuhan wajah Nano tanpa ekspresi mampu membuatku bergidik sendiri apalagi dia mengatongkan tangan seakan memberi kode agar segera mengembalikan kertasnya.
"Maaf," ucapku dengan susah payah, duh kalau begini lidah terasa keluh untuk mengatakan sesuatu. Saat ini sudah persis maling yang tertangkap basah.
Untuk pertama kalinya kulihat Nano tersenyum, meski hanya segaris tipis sembari berkata, "Nggak papa."
Setelah mendapat apa yang ia mau dia kembali keluar kelas, entah mau ke mana lagi. Namun, saat diambang pintu ....
"Lo nggak kesambet, 'kan?" Aku malah was-was sendiri khawatir dia kesambet setan di jalan.
Nano tidak merespon, kalau sudah begini baru aku percaya jika Nano baik-baik saja. Huft, syukurlah sekolah tidak jadi pulang pagi karena ada murid yang kesambet.
"Nano juga bisa bucin juga ternyata," dumelku setengah tertawa, menganggap jika Nano adalah makhluk kaku ternyata bisa mencintai lewat aksara juga, tetapi perlu kuakui rangkaian kata Nano bagus terkesan sederhana dan tidak terlalu memaksa. "Siapa, ya yang berhasil membuat Nano bucin! Suhu banget tuh cewek bisa membuat es batu mencair."
Sebentar, ini kenapa aku malah dibuat penasaran dengan Nano. Sudahlah, aku dan Nano tidak ada urusan. Kecuali ... "Nano!"
Bodoh sekali kau, Hera! umpatku pada diri sendiri yang masih merutuki kelalaianku, untung masih di sekolah.
"Nano!" teriakku sedikit kencang, berharap bisa menghentikan langkah Nano yang menuju lapangan basket indoor. "Duh, nih orang budeg keknya!"
Ada beberapa anak yang melihatku heran, mungkin jarang bahkan tak pernah melihatku lari-larian seperti ini. Beda jika teman alumni OSIS sudah biasa melihatku seperti ini hanya untuk mengejar sesuatu yang kadang sepele, tapi sering lupa.
"Ada apa?" Aduh, kenapa lapangan ini sepi? Hanya ada kami di sini. Bahkan suara derap langkahku saja sepertinya terdengar jelas bagi Nano hingga ia langsung menoleh, memintaku untuk segera mengatakan maksud. "Alun pesen kalau ...."
.
.
.
Ada rasa keknya hihi😂Okay, see you next chapter💚
12 Desember 2022
♡´・ᴗ・'♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...