Happy reading^^
•••
“Hidup akan terus berputar, kadang kamu harus berdamai dengan diri sendiri dalam menghadapi orang yang sebenarnya tak ingin kau temui.”
—Hera Sandyakala—•••
Pada awalnya kami bertiga janjian di perpustakaan sepulang sekolah, untuk membahas lomba cerdas cermat. Namun, kamu tahu Nano malah pulang duluan.
"Duh, belum-belum udah kek gini aja! Males banget gue," ujarku menghela napas ketika menyadari Nano sudah pulang sedari mondar-mandir di samping rak-rak berisi buku yang menjulang tinggi, sedang Arundaya duduk tenang dengan membaca buku tentang Ki Hajar Dewantara katanya. "Tadi dia udah tau, 'kan?"
"Udah gue bilang, Sya, tapi dia malah melengos nggak jawab bisa atau enggak. Kesel sumpah!" umpatku menggebrak meja perpustakaan, sontak Arundaya terlonjak kaget. "Anjir, santai dong! Untung sepi."
Selain kami dan beberapa anak yang masih stay mencari buku, Cesya juga di sini. Dia menunggu teman kelas ngumpul baru bisa latihan paduan suara. Ya, selain cerdas cermat OSIS juga mengagendakan lomba paduan suara yang diikuti tim delegasi setiap kelas.
Arundaya menggeleng, mungkin dia sudah kehilangan mood membaca karenaku, terbukti dia menutup bukunya kasar.
"Udahlah jangan marah-marah mulu, ntar wajah lo cepet tua," canda Arundaya asal ceplos. "Bodo!"
"Kita tunggu sepuluh menit lagi, kalau nggak dateng kita pulang!" Arundaya memberikan solusi sekaligus mencoba meredam amarahku. "Mau ditunggu gimana! Orang Nano udah pulang, LUN!" Di akhir kata aku beri penekanan, masih emosi.
"Siapa tahu dia ada urusan bentar, dahlah positif thinking, Heri!" Aku hanya pasrah sembari membenamkan wajah di kedua tumpuan tangan, kali ini terserah Arundaya. Mau ngajak pulang ayok mau stay di sini sampai besok ayok.
"Eh, lo nyanyi apa aja besok?" Suara obrolan Alun dan Cesya masih bisa kudengar, percayalah aku belum tidur. "Euhm ... Indonesia Raya sama mars sekolah doang."
"Owalah, semoga lancar jaya dah!" Alun memberikan semangat. "Lo juga," jawab Cesya setengah ragu.
Meski persahabatan kami masih mulus, kurasa ada sedikit kecanggungan di antara mereka. Sepertinya Cesya sudah menyadari perasaan Alun dan sikap laki-laki itu yang lambat laun mulai berubah.
Biasanya Alun selalu memiliki topik obrolan, tapi kali ini dia bungkam tak terdengar lagi suaranya.
"Alun!" Kesalku setengah berteriak, aku paling tidak suka ketika badmood diganggu.
Alun memainkan rambutku seenak jidat, padahal dia tahu aku sedang istirahat. "Sorry, Heri! Lagian lemes banget kek nggak selera idup. Satu lagi, lo tau orang yang gampang kesel tuh ...."
"Diem lo!" Tak segan-segan aku menimpuk wajahnya dengan buku bacaan tadi, menjadikan wajah Alun sedikit masam.
"Gue ... gue ke kelas dulu, ya. Nih mau latihan," pamit Cesya sedikit tergesa. Setelah kepergian Cesya baru aku berani berkata, "Lo buat dia nggak nyaman, Lun."
"Bukan salah gue." Alun melengos, seakan tidak berminat membahas obrolan ini. "Lo masih sakit hati?"
Alun diam, tidak ada kata yang keluar dari mulutnya sama sekali bersamaan dengan itu seorang laki-laki berkulit putih masuk dengan kemeja putih sudah dikeluarkan dan kancing yang terbuka, membuat kaos berwarna hitamnya terlihat.
"Dasar nafsuan!" celoteh Alun saat melihat mataku yang tak berkedip saat kedatangan Nano, dia langsung duduk di depan kami. "Mana ada, berlebihan lo!"
"Sorry, tadi ada urusan." Nano segera mengeluarkan beberapa buku dari tas, dia menarik kerahnya berharap bisa menyegarkan.
Sial, kenapa saat di hadapannya nyaliku menciut. Tidak, tidak. Ini tidak mungkin terjadi, aku menggeleng.
"Lo dari mana?" Perkataan Alun menyadarkan lamunanku. "Kucing gue sekarat."
"Terus?" Alun malah menagih cerita. "Udah gue bawa ke dokter hewan." Dia hanya ber-oh riah.
"Yuk kita mulai dari mana? Kasihan nih remaja jompo punggungnya udah pegel katanya," sindir Alun sembari melirikku. Ada suara tawa kecil dari Nano. "F*ck!"
"Hush, nggak boleh ngomong kasar. Harus nurut sama Om." Menjijikkan sekali, untung sahabat. Jika bukan mungkin sudah uninstall.
Melihat wajah Nano yang terlihat tak merasa bersalah, aku berkata, "Lain kali kalau ada urusan setidaknya ngomong, jangan membuat orang menunggu," omelku.
"Sorry." Hanya satu kata yang keluar dari mulutnya dengan disertai lirikan sedikit sinis, sebenarnya ini niat minta maaf atau minta timpuk.
"Kemarin lo ikut technical meeting, 'kan?" tanya Alun membuatnya mengangguk. "Hasilnya gimana?" Ya, dia memang sangat cerewet dan terus mengejar jawaban atas pertanyaan yang terlontar.
Nano menjelaskan secara padat, singkat, dan jelas jika ruang lingkup cerdas cermat meliputi bidang pengetahuan umum, matematika, opini, dan penalaran. Tenang meski sangat singkat, kami masih bisa memahami dengan baik.
"Lo bagian matematika, Heri pengetahuan umum, dan gue bagian opini dan penalaran." Alun memberikan tugas, sudah kalau urusan pembagian tugas dia yang paling cepat tanggap. "Ogah!" seruku tak terima.
Sontak kedua cowok itu menatapku bingung, "Ini adil, Heri! Secara lo cepet banget hafalannya kalau Nano, 'kan cepet kalau itung-itung. Udahlah saling melengkapi." Dia menarik napas kasar, mungkin bagi Alun adil, tapi bagiku tidak.
"Kita masih belum tahu berapa presentase bobot soal tiap bidang itu, ya mungkin saja pengetahuan umum 50 persen, matematika 30 persen, terus bagian lo 20 persen. Bukannya ini nggak adil, Lun? Yang presentase paling banyak artinya belajar banyak dong?" sanggahku menyampaikan alasan agar bisa dimengerti kenapa ada penolakan.
Nano hanya mengangguk sembari memijit pelipis, seolah dia sedang mencari solusi juga sedangkan Alun, laki-laki hendak berkata. "Bisa aja bobot soalnya lebih berat, Ra."
Aku menyadari perubahan panggilan, hal ini menandakan jika Alun dalam mode serius dan tidak ingin kalah dalam menyampaikan argumentasi.
"Beda, Lun!"
"Sama, Hera. Kita tetep belajar banyak, tapi dalam bidang masing-masing. Gue ngusulin gini biar kita bisa fokus pendalaman materi," elak Alun masih kekeuh pada pendirian. "Tetap itu enggak adil!"
"Gini, kita bertiga tetep mempelajari ke-empat bidang materi itu, tapi untuk pendalaman materi kita fokus seperti apa yang disebutkan Alun tadi gimana?" Nano memberikan jalan tengah, reflek kami terdiam. "Itu adil."
"Ya ya ya, serah lo pada deh," jawab Alun masih belum menerima, aku tahu kenapa Alun masih belum menerimanya. Alun memang pandai dalam saat menyampaikan argumentasi atau memberikan tanggapan, tapi dia lemah dalam bidang matematika. "Entar kalau nggak bisa, kita selesain sama-sama, Lun."
Sedikit menghela napas. Namun, pada akhirnya laki-laki itu bisa menerima.
"Nggak usah ngambek," candaku tertawa kecil melihat raut wajah Alun yang sulit dijelaskan. "Gue nggak kayak elo."
Hanya membahas sedikit sebelum kami bertiga memutuskan pulang, karena hari sudah semakin petang.
.
.
.
Hehe bayangin satu tim sama mereka🤣Okay, see you next chapter💚
05 Desember 2022
♡´・ᴗ・'♡
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
أدب المراهقين"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...