Happy reading^^
•••
Kesempatan yang tidak boleh disia-siakan, apalagi sampai terlewat begitu saja.
—Hera Sandyakala—•••
Hanya kisaran beberapa menit krepes kami jadi, baik aku maupun Alun lebih memilih menikmatinya dengan menikmati kelap-kelip lampu jalanan. Niat awal beli krepes, eh keterusan membeli banyak makanan di pusat kota ini. Tak jarang beberapa orang juga menikmati malam bersama orang terkasih, tentu dengan dimanjakan segala serba serbi stand makanan di sepanjang ruas jalan.Setelah membeli krepes, dua cup teh dingin, corn dog, cimol, dan kentang goreng kami memilih duduk di rerumputan hijau yang terhampar luas.
"Cantik, 'kan bandana yang gue buat?" Aku mengangguk, pasalnya bandana oren yang ia buat sekarang sedang kupakai dengan pakaian yang senada. Sedangkan, Alun menggunakan kemeja casual dengan celana hitam dan memakai kalung pemberian neneknya, yang aku sudah mengembalikan. "Ini kenapa?"
Bersamaan dengan pertanyaan yang keluar dari mulut, aku menyentuh sebuah bekas luka di pelipis Alun yang masih di plester. Dia nampak tertawa kecil, kemudian menurunkan tanganku. "Cuman luka kecil."
"Gegera insiden itu?" Alun mengangguk, sembari menikmati corn dog. "Maaf, ya gegera ini lo mengalami banyak luka," tambahku menghela napas panjang.
"Aelah, gue 'kan ultraman hahaha. Lagian lukanya bakal sembuh kok, jadi lo nggak usah minta maaf." Alun menunjukkan corn dog yang tinggal setengah, menawariku. "Lo makan dulu aja. Sakit?"
"Lebih sakit pas diurut, itu tuh rasanya ... tidak dapat didefinisikan. Habis pulang dari rumah sakit, langsung ke tempat urut." Aku yang mendengar Alun bercerita sampai menganga, tidak menyangka. "Emang boleh?"
Dia mengedikan bahu tidak tahu, "Gimana kabar lo pas gue pergi?" tanya Alun berusaha mengalihkan topik pembicaraan.
"Happy."
"Serius?" Aku tertawa renyah. "Ya nggak lah anjir, sodara macam apa gue kalau happy pas lo ilang," lanjutku.
Wajah Alun masih tampak ceria, seperti insiden itu tidak pernah terjadi dalam hidupnya. Padahal aku tahu untuk melewatinya pasti tidak mudah. Namun, Alun seakan memendamnya.
"Lun?" Dia menoleh, kemudian melihatku tidak kunjung berkata ia berdecak, "Ada apa, Ra?"
"Gue manggil lo apa? Secara lo yang duluan lahir. Mau gue panggil Bang Alun, Kak Alun, Aa' Alun atau Mang Alun, hehehe." Aku meringis, cukup geli memanggil Alun dengan embel-embel seperti itu. Masih belum terbiasa. "Mang Ujang aja gimana?"
"Ish, lo mah." Aku mencebikkan bibir sebal, kebiasaan Alun padahal ngomong serius malah tanggapannya bercanda. "Senyaman lo aja, Ra. Seumpama lo nyaman panggil gue tanpa embel-embel kek gitu juga nggak papa," balasnya mengacak gemas rambutku.
"Kenapa sih lo hobi banget ngacak-ngacak rambut? Bikin berantakan tau nggak!" seruku tampak kesal seraya merapikannya kembali, aku masih heran baik kak Banyu maupun Alun mengapa hobi sekali mengacak rambut. "Act to service nggak tuh."
"Serah lo deh, serah. Eh, Lun. Lo tahu gue kembaran lo sejak kapan?" Cowok itu tampak berpikir sedikit lama, sebelum mengatakan. "Setahun yang lalu. Waktu gue mencoba ...."
"Mengakhiri hidup?" Dia mengangguk. "Bunda menyelamatkan gue, bodoh banget waktu itu, tapi otak gue udah buntu."
"Jangan mencobanya lagi, ya." Alun mengangguk dalam, dia tahu hal itu. "Seperti kata bunda, jangan memaksa mengakhiri apa yang seharusnya belum berakhir."
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...