Happy Reading^^
•••
Jika dengan kepergian gue bisa membuat kebahagiaan, baik gue akan pergi.
—Arundaya—•••
Alun tidak mempercayainya, "Maksud lo?" dia meminta penjelasan. Setengah kesal aku berdecak dan berlalu menuju ruang keluarga, sial Alun masih mengekoriku."Lo pikir sendiri lha. Sejak lo di sini, gue harus berbagi," ketusku memutar kedua bola mata malas berbeda dengan Alun yang masih berdiri, ia tampak berusaha memahami apa yang sebenarnya terjadi. "Berbagi?" ulangnya.
Aku tertawa kecil, laki-laki ini emang suka tidak sadar diri dengan ulahnya. "Pertama Bunda lebih sayang lo daripada gue, padahal lo cuma anak tetangga dan anak sahabatnya."
Ruangan yang harusnya terasa hangat, mendadak seakan ada sekat. Namun, tidak banyak yang dilakukan Alun selain meminta penjelasan. "Nggak mungkin."
"Mungkin saja, buktinya pas kemarin kita menang lomba cerdas cermat Bunda ngucapin selamat ke elo. Sedangkan ke gue? Nothing. Kedua, Bunda lupa ngucapin 'selamat ulang tahun' pas di hari spesial gue dan parahnya gue harus rela berbagi birthday party sama elo," ujarku mengaduk mie di mangkuk, kemudian melanjutkan. "Dan tadi sore, gue dimarahin gegara ponsel gue mati dan nggak bisa bantuin lo. Bunda juga lupa kalau gue suka krepes rasa coklat."
"Tapi itu semua ...," lirih Alun sepertinya mulai mencerna kejadian demi kejadian akhir-akhir ini, dia mangut-mangut mengerti. "Tapi gue nggak ada niatan sedikit pun buat rebut perhatian Bunda, Ra."
Tawaku terdengar meremehkan, aku sudah tahu gelagat Alun. "Terus ini salah gue? Itu yang mau lo bilang, 'kan? Iya, bener semua salah gue."
"Nggak, Ra. Nggak gitu," sahut Alun tidak mau adanya kesalahpahaman. "Lun, lo itu cuma anak sahabat Bunda, tapi kenapa lo rebut semuanya dari gue? Gue tahu lo jarang dapet kasih sayang dari mama kandung lo, tapi kenapa lo buat gue merasakan hal yang sama, hm? Apa itu adil?"
Alun terdiam sangat lama, dia menunduk seakan memikirkan sebuah cara. Sedikit kulihat, ia menahan emosi, mungkin agar tidak membludak di sini. Alun mengusap kasar wajahnya seakan mencari jalan keluar, tapi semuanya sudah tampak jelas di depan mata kepalaku sendiri.
"Lo maunya gimana?" tanya Alun sungguh-sungguh, dia mengatur deru napas yang tak beraturan. "Lo pergi, nggak usah muncul di hadapan Bunda ataupun keluarga gue. Lo itu orang asing, Lun," sarkasku tak peduli dengan perasaannya lagi.
"Jika dengan kepergian gue bisa membuat kebahagiaan, baik gue akan pergi." Alun keluar dari ruangan ini, tanpa sepatah kata.
Tak lama ponselku berdering, ada sebuah notifikasi pesan masuk. Saat terlihat nama Alun di layar aku melengos. Bukannya dia berkata akan pergi, kenapa masih menghubungiku lagi. Tanpa banyak kata aku mematikan ponsel dan segera menghabiskan mie yang tadi aku buat.
Setelah mengembalikan mangkuk di dapur, aku penasaran apakah Alun benar-benar pergi atau tidak. Namun, tadi sempat kudengar suara motornya keluar garasi.
Saat pertama kali masuk kamar yang biasa digunakan Alun aku menyalakan lampu, ya tadi lampunya sudah mati. Kamarnya cukup bersih dan tentunya rapi, barang-barang Alun juga sudah tidak ada. Cukup kagum, ternyata dia cepat mengemasi dan segera keluar dari rumah ini.
"Bagus deh, semakin cepet dia pergi itu artinya semakin cepet rumah ini bisa damai," celetukku kemudian keluar ruangan. Tak lupa aku mematikan lampu ruangan kembali.
Ketika akan ke kamar, aku melihat bunda sama bapak sudah pulang. Mungkin mereka lelah, selepas mengucapkan selamat malam bapak langsung ke kamar, lagipula tadi mereka menjenguk teman Bunda yang sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Fiksi Remaja"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...