Happy reading^^
•••
Yang diluar terlihat rapi tidak menjamin jika di dalam sangat berantakan.
—Arundaya•••
Belum dijawab Alun kembali tertawa hambar, merutuki kekonyolannya. "Alun nggak pernah bersyukur. Udah dikasih keluarga yang nganggep Alun ada, masih sempet-sempetnya nanya kayak gitu ... maaf, Nda."Bunda masih terus mengusap kepala Alun, berharap laki-laki itu segera beristirahat. Sedang aku masih setia duduk di samping bunda dengan sesekali kulihat ia yang tengah menahan sakit di kepala.
Alun mengambil tangan bunda kemudian meletakkannya di salah satu pipi, lantas berkata, "Bunda jangan tinggalin Alun."
"Siapa yang mau ninggalin kamu, hm? Keluarga ini adalah keluarga Alun juga, jadi apapun yang terjadi kita akan tetap bersama. Entah hari ini, esok, atau bahkan selamanya." Bunda tersenyum lebar, bukan pertama kali Alun sakit terus bunda yang merawat.
Waktu kecil Alun sering sakit dan tak jarang ia ke sini, selain ada yang menemani orang tua Alun juga mempercayai keluargaku. Dari sini sudah sangat jelas jika Alun dan keluargaku sangat dekat bahkan tadi sore teman kak Banyu mengira Alun saudara kami juga.
Tak lama ia tertidur, bunda meletakkan tangan Alun di atas perut. Selepas itu bunda segera menutup gorden jendela kamar kemudian merapikan selimut Alun.
"Ayo, Sayang. Kamu juga harus tidur, besok sekolah," sarannya mengajakku meninggalkan kamar Alun, sebenarnya ini kamar tamu. Namun, kalau menginap Alun selalu tidur di sini. "Baik, Nda."
"Bunda?"
"Iya, Sayang?" Sontak bunda berhenti kemudian menatapku dengan penuh kasih. "Untuk beberapa hari minta Alun nginep di sini dulu boleh?"
Jelas dia menautkan alis, merasa bingung. Namun, saat aku bercerita keresahan mengenai artikel yang kubaca akhir-akhir ini, bunda langsung paham dengan lembut dia mengangkat daguku.
"Alun itu anak bunda yang kuat, dia tidak akan melakukan hal itu," tuturnya menenangkan, tetapi tetap saja ada rasa takut dalam hati. "Hera takut kehilangan Alun, Bunda."
"Bunda tahu, jadi kalian harus saling support satu sama lain. Kalau Alun lagi down, kamu kasih semangat begitu juga sebaliknya, kalian itu saudara." Aku mengangguk mengerti. "Sama kayak kak Banyu?"
Bunda mengiyakan, dia mengantarku hingga kamar. "Sini berbaring, mau bunda bacain cerita?" Aku sedikit tertawa kecil, bunda selalu ingat kebiasaan-kebiasaan kecilku. Jika dibacakan cerita aku lebih cepat tidur.
Bunda selalu memperlakukan anak-anaknya seperti bayi, padahal umur kami sudah beranjak dewasa. Tetap saja bagi orang tua kami adalah anak kecil yang belum tahu apa itu dunia.
Sebelum bercerita bunda mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur kemudian membenarkan selimut yang kupakai, ia duduk bersandar di samping kanan sembari mencari posisi yang nyaman.
"Ini cerita tentang tiga peri kecil yang menyelamatkan tanaman petani dari serangan tikus." Meski pada umumnya cerita ini untuk anak kecil, entah mengapa aku selalu antusias mendengar bunda bercerita. "Baca doa, Sayang. Biar kalau ketiduran nggak diganggu setan."
"Setannya lagi K.O Bunda," candaku langsung mendapat gelengan darinya. "Jadi ceritanya gini, dulu waktu musim semi ...."
Cerita malam ini cukup panjang, bahkan aku hanya bisa menyimaknya sampai setengah jalan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...