Happy Reading^^
•••
Aku ingin memelukmu sekali lagi, jangan terlalu lama menghilang. Kamu di mana?
—Hera Sandyakala—•••
Kami sudah sampai di rumah sakit, di mana beberapa penumpang yang terluka akibat insiden itu dilarikan. Namun, sayang meski sudah tanya sana sini kami tidak menemukan keberadaan Alun. Bahkan, resepsionis juga mengatakan jika tidak ada orang yang bernama Arundaya."Jika wajah ini, gimana?" Aku menunjukkan foto Alun yang sangat jelas, tapi wanita dengan seragam itu menggeleng. Bahkan, katanya tidak pernah melihatnya. Dalam insiden itu ada lima korban yang meninggal, tapi semuanya perempuan dan di antara mereka anak kecil laki-laki dan sopirnya.
Bapak dan papa masih sibuk mencari keberadaan Alun dengan meminta bantuan tim polisi, beliau langsung ke lokasi sekadar mengecek apa masih ada orang yang belum di evakuasi.
Bunda dan mama nampak saling berpelukan, menguatkan satu sama lain di antara beberapa orang-orang yang menjemput anggota keluarganya yang menjadi korban.
"Lo di mana, Lun?" dumelku masih cemas, sebelum Alun ditemukan aku tidak akan tenang.
"Alun ...," lirihku melihat seorang perawat mendorong brankar seorang korban insiden ini, aku melihatnya ternyata bukan.
"Kamu nyari siapa, Dek?" tanya seorang wanita yang sedang mendorong kursi roda. Aku mengusap air mata yang masih tak mau berhenti. "Alun."
Lagi-lagi aku membuka ponsel, memperlihatkan foto Alun yang terlihat tersenyum merekah.
"Tadi saya sempat lihat beberapa perawat membawa jenazah laki-laki, sepertinya dia masih remaja, tapi belum ada keluarga yang menjemputnya dan belum di identifikasi karena tidak ada data diri atau kartu tanda pengenal juga," jelasnya seakan memberi tahuku jika mungkin saja dia orang yang kucari. "Tapi Alun nggak mungkin ...."
Wanita itu tersenyum, mengusap kedua bahuku. "Tante tahu ini berat, tapi apa salahnya kamu lihat dulu." Beliau meninggalkanku sendiri.
Langkahku sedikit berat ketika harus ke ruang jenazah, aku meminta bantuan seorang perawat untuk menunjukkannya.
"Dia siapanya kamu?" Di lorong rumah sakit, perawat cantik ini mencoba membuat ketakutanku berkurang. "Sahabat."
Air mataku tak berhenti mengalir ketika pintu ruangan terbuka lebar, aku mengusapnya kasar. Kesal dengan diri yang terlalu lemah ini. Seorang perawat tetap mendampingiku. Sontak seluruh badanku kembali bergetar ketika ia hendak membuka kain penutup berwarna putih.
"Alun ...," lirihku sudah tak kuasa, aku memalingkan wajah sejenak. Tidak bisa membayangkan jika ini benar-benar raga Alun, seumur hidup aku akan merasa bersalah mengapa kemarin malam mengusirnya. Bahkan kemarin tidak pernah sekalipun Alun meninggikan suara atau bahkan main tangan, dia hanya menerima apapun itu. "Adek, ini beneran sahabatnya?"
Tangisanku semakin membuncah, aku terus menggeleng. Namun, dadaku rasanya sekali sesak hingga terduduk lemas di ubin rumah sakit.
"Dek?"
"Bukan, Kak. Dia bukan sahabatku," ucapku berusaha menguatkan diri, aku yang awalnya duduk langsung berdiri sembari mengusap air mata. "Terima kasih, Kak."
Kakiku sudah ngilu sendiri, membayangkan jenazah itu adalah Alun. Aku segera kembali ke tempat bunda dan mama.
"Kamu ke mana saja, Sayang?" Bunda menangkup wajahku kemudian memeluk diri ini erat, aku masih belum bereaksi. "Alun di mana, Bunda?" tanyaku menatap wajah bunda serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Warna untuk Hera [END]
Teen Fiction"Kalau jalan pakai mata!" -Nathan Alvino. "Jelas, kalau pakai hati namanya jatuh cinta." -Hera Sandyakala. Sudah dipastikan se-menyebalkan apa dirinya. Mentang-mentang siswa kesayangan guru, omongannya pedes terutama ke perempuan. Tidak ada yang bis...