024 - Bertegur Sapa

13 3 0
                                    

Happy Reading^^
•••

Untuk semua yang telah terjadi, terima kasih semesta atas kesempatannya.
—Hera Sandyakala

•••


Aku sedikit mendekat, berusaha melepas benang tasku dari gelangnya, pantas saja mudah nyantol ke mana-mana namanya tas rajut. Begitu tahu dia langsung membantuku.

"Susah sekali," ujarku berdecak sebal. Kita memutuskan untuk menepi, duduk di halte agar tidak menghalangi orang berlalu lalang. "Dikit lagi!" serunya berusaha sedikit keras.

"Maaf, ya." Dia nampak menggeleng, waktu melepas gelangnya pergelangan tangan laki-laki itu terlihat, ada semacam goresan luka yang terlihat. Aku sedikit termenung, mencoba mengingatnya karena bekas luka itu tidak asing bagiku.

"Alun?" Saat itu juga dia terkejut, perlahan aku menatap kedua bola matanya. "Lo? Lo Alun, 'kan?"

Tidak pernah aku seyakin ini, aku masih bisa mengingat Alun memiliki bekas luka di pergelangan tangan kiri. Dari sorot matanya dia terlihat tidak nyaman, saat hendak beranjak aku menahan tangannya. Kali ini aku tidak akan membiarkan dia pergi.

"Lun? Ini bener elo? Sumpah, lo mau ke mana? Ayo pulang, bunda ... bunda merindukan elo, mama juga, bapak ... semuanya." Perkataanku cukup terbata-bata, masih tidak menyangka akan bertemu seperti ini.

Pada akhirnya ia menyerah, selepas membuka tudung hoodie Alun berbalik kemudian memelukku erat, seakan mengatakan bahwa dia akan selalu di sini.

Orang yang berlalu lalang menyoroti kami berdua, aku segera melerai. Masih tidak menyangka akan bertemu, aku melihat Alun dari atas sampai bawah. Potongan rambut yang masih sama. Dia mengenakan hoodie berwarna hitam dengan tudung putih, sedang warna celananya senada.

"Ra ...," lirihnya menghapus air mataku yang turun tanpa di komando. "Sorry, tapi habis ini gue akan pergi lagi. Lo tenang aja."

"Pergi ke mana?" tanyaku masih tak mengalihkan pandang, aku benar-benar merindukan sosoknya meski dalam kenyataan aku tidak mengatakan hal itu. "Pulang, ke Bandung."

"Bandung? Rumah lo di sini, Lun." Aku mengerjapkan mata. "Lo nggak papa, 'kan?" tanyaku memegang kedua lengannya.

Dia menggeleng, kemudian berkata, "Gue bisa jaga diri baik-baik. Seharusnya tadi gue langsung pergi."

Waktu berdiri aku menarik ujung baju belakang, kemudian menghadapnya. "Lo marah sama gue?"

"Enggak, ngapain gue marah sama lo. Malah gue pengen lo bahagia tanpa adanya gue, seharusnya gue nggak pernah hadir di hidup lo biar hidup lo bahagia." Alun menghela napas, aku merutuki diri sendiri. "Kalau lo pergi, hidup gue nggak baik-baik saja."

"Mana ada!" elaknya tertawa hambar. "Karena lo kembaran gue, katanya lo mau nemenin gue kenapa pergi?"

Alun menunduk, ia menahan tangis agar tidak pecah sedangkan aku tak kuasa melihatnya seperti ini.

"Ayo, pulang!" Aku menggandengnya, ya agar Alun tidak pergi lagi. "Gue cuma sumber masalah."

"Kata siapa? Justru kehadiran lo bisa menjadi pelengkap mama sama papa, kehadiran lo adalah anugrah. Lo masih inget kata bunda, 'kan?" Aku masih menggenggam tangannya, Alun menurut. "Lo tahu semenjak lo hilang kami semua nyariin elo, bahkan mama sama papa masih di Bandung. Kabar baiknya mereka nggak jadi berpisah. Mereka fokus nyariin elo."

Sesampainya di rumah aku langsung membuka pintu dan memanggil bunda, masih kugandeng Alun. Sungguh, aku tidak ingin ia pergi.

"Assalamualaikum, Bunda. Hera pulang, Hera bawa seseorang, Nda." Sedikit kulihat Alun yang diam saja sejak di angkutan umum tadi, aku tidak tahu ia sedang bergelut dengan pikiran apa. Pastinya bunda harus tahu jika Alun sudah kembali.

Warna untuk Hera [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang