8

302 44 1
                                    

Terima kasih udah mampir baca.

Tinggalkan jejakmu yaa!

--------------------------------------------------

Hyunsuk POV

Aku tidak menyangka akan pernah pergi makan malam dengan seorang Tuan Park Jihoon, tapi disinilah aku, terpesona dengan cara dia makan steak filet daging sapi panggangnya.

Dia jelas lapar, dan berkonsentrasi penuh pada makan, bukan padaku.

Dia telah melepas jasnya begitu kami masuk, sebelum kami diantar ke meja yang awalnya aku pesan untuk Byonggon dan aku sendiri.

"Apakah kamu tidak lapar?" dia mengangkat tatapan gelapnya kearahku, tidak menyadari bagaimana semua orang di sini terpaku padanya.

"Aku, uh... tidak, tidak terlalu," aku memberinya senyum dengan bibir terkatup rapat dan dengan cepat melirik piring kecil berisi ayam asap mozzarella dan salad pesto zaitun yang telah kupesan.

"Aku belum pernah makan masakan haute yang enak," dia tampak begitu menikmati dengan santai, bahkan di restaurant gourmet seperti ini, "satu-satunya masalah adalah porsinya sangat sedikit." Katanya.

Dia memahami otoritas dan kekuatannya sendiri, dan tahu dia bahkan tidak perlu mengangkat satu jari pun untuk siapa pun.

Aku tertawa pelan dan mengangguk sekali setuju, "benar"

"Berapa umurmu, Hyunsuk?" dia bertanya begitu aku akhirnya mulai makan makananku, "jika anda tidak keberatan saya bertanya." Lanjutnya.

Tidak butuh waktu lama baginya untuk menyelesaikan hidangan utamanya, dan sekarang mulai memperhatikan ku perlahan-lahan memakan makanan ku seperti yang telah ku lakukan saat melihatnya makan.

"Aku 24. Bagaimana denganmu?"

Alisnya terangkat mendengar jawabanku, sebelum dia menyeruput anggur merahnya.

"29. Kamu terlalu muda untuk bekerja sebagai..." suaranya menghilang saat dia mencari kata yang lebih baik dari pada yang dipikirkan...mungkin.

Aku tahu dia menganggapku semacam pelacur, dan membayangkan dia melihatku seperti itu membuatku sangat cemas. Bukan karena aku peduli dengan apa yang dia pikirkan tentang ku, tetapi karena aku ingin menjauhkan diri dari gelar itu.

"Tuan Jihoon, saya--" aku mulai dengan gelengan kecil dikepala, menjadi agak protektif terhadap diri sendiri.

Itu adalah hidup saya, dia seharusnya tidak menilai saya dari apa yang saya lakukan untuk mencari nafkah. Jika dia hanya tahu apa yang biasa saya lakukan, dia akan kehilangan akal sehatnya.

"Jihoon," dia memotongku, dan alisku berkerut.

"Apa?" aku berdehem pelan dan meletakkan peralatan makanku untuk sepenuhnya fokus padanya.

"Panggil aku Jihoon, toh kamu tidak akan lama bekerja untukku, tidak akan ada yang protes," dia mengangkat bahunya sementara aku mengangguk ragu.

"Baiklah," aku perlahan setuju, "Jihoon."

Sisi bibirnya ditarik ke atas menjadi seringai kecil dan seksi. Dia bersandar di kursinya dengan santai dan memberi isyarat agar aku melanjutkan makanannya sambil menjawab pertanyaannya tadi.

"Apa yang saya lakukan sangat penting untuk... bisnis keluarga Anda," aku menghindari kata 'mafia' pada saat ini, karna tahu betul orang-orang di sekitar kami dapat mendengar karena mereka semua tampak tertarik dengan keberadaan Tuan Jihoon di sini, "Anda mungkin tidak melihatnya, tetapi tanpa saya, banyak pencapaian tidak akan terjadi"

Untuk KesenangannyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang