Lia benar-benar tidak mood saat ini. Gadis itu bahkan memilih tidur di kelas meski saat itu pelajar tengah berlangsung. Hingga sebuah teguran berhasil membuatnya mengangkat wajahnya. Guru itu menyuruh Lia keluar untuk mencuci muka. Lia menurut. Gadis itu keluar dari kelasnya, namun tak berniat kembali tentunya. Kakinya melangkah menuju tempat dimana tak akan ada orang yang menemukannya.
Lia menemukan tempat itu saat mencari kelas James waktu itu. Di sini lah Lia berada saat ini. Sebuah rooftop sekolah yang jarang sekali di kunjungi oleh banyak orang. Namun sepertinya ada yang menggunakan tempat itu, mengingat ada sebuah kursi sofa tua di sana dengan sebuah meja kecil. Ada kaleng bekas di atas meja itu. Bahkan ada beberapa putung rokok yang Lia yakini di sini menjadi tempat favorit banyak siswa berandalan untuk mencuri kesempatan agar bisa merokok.
Lia menghela napas pelan. Menatap langit yang tampak tanpa awan. Cukup menyengat sinar matahari saat itu, mengingat sudah masuk jam ketiga pelajaran setelah jam istirahat tadi. Lia melangkah ke arah sudut rooftop lain. Ia kembali teringat dengan pembicaraan Karen tadi di lapangan. Bagaimana gadis itu terlihat begitu senang dengan hubungan ibunya dengan seorang lelaki yang tak lain adalah ayahnya.
Lia tak suka. Jelas ia tak pernah menyetujui hubungan itu. Tidak seperti Karen yang bahagia, Lia adalah kebalikannya. Alasannya sudah jelas. Itu ada sangkut pautnya dengan ibu kandungnya. Entah sejauh mana ia tahu, kenapa ia bisa menilai demikian. Intinya Lia memang sudah tak menyukai wanita yang diperkenalkan sebagai calon ibu barunya itu.
"Mami, boleh gak sih Lia ikut Mami aja!" gumam Lia pelan. Dadanya sesak.
Sekelebatan ingatan berhasil membuat Lia tertunduk. Botol obat yang berserakan dengan sebuah foto yang sudah di robek menjadi dua. Lia masih ingat betul hal itu sebelum akhirnya histeris dan berteriak memanggil ibunya yang sudah tak sadarkan diri. Lia memukul dadanya perlahan. Berusaha menahan emosinya sebelum suara seseorang berhasil membuatnya tersadar bahwa ia kini tak sendirian.
Lia menoleh. Mendapati sosok James yang berdiri tak jauh dari tempatnya. Lelaki itu seorang diri. Lia tak melihat teman-temannya saat itu. Gadis itu buru-buru menyeka air matanya sebelum akhirnya menatap ke arah James intens.
"Ngapain lo di sini?"
"Harusnya gue yang tanya. Ini tempat gue!"
"Ck... Emang ada tulisannya ini tempat milik lo!" Lia berjalan mendekati James.
"Lagian ngapain cewek kaya lo ada di sini?"
"Cewek kaya gue?" tanya Lia—heran. Memangnya gadis seperti apa dirinya di mata orang lain. Kenapa harus ada pembeda.
"Oh... Cewek cantik kaya gue ya maksud lo. Hehehe bisa aja sih!"
James menghela pelan. Ia tak ingin menanggapi celotehan Lia yang kembali menyebalkan buatnya. Lelaki itu memilih untuk rebahan di atas sofa tua yang ada di rooftop itu. Tempat yang cukup teduh di bandingkan tempat yang lainnya. Ia pergi ke rooftop dengan tujuan ingin kabur dari kebisingan. Bukan untuk mendengarkan celotehan tak jelas gadis itu.
"James nanti gue boleh nebeng gak?"
James tak menyahut. Pemuda itu belum tidur. Dia hanya menulikan pendengarannya. Berusaha bersikap acuh, namun belum cukup membuat Lia menyerah tentunya. "Boleh ya, please!"
"Lo bisa pesan taksi!"
"Ah elah gue bosen tau di rumah!" Lia berdecak kesal.
"Bukan urusan gue!" ucap James acuh.
"Please sekali ini aja!" mohon Lia.
"Lo mau jadi babu gue selama seminggu lagi?" Lia akhirnya menyerah. Ia tak menyahut kali ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
RED FLAG
Non-FictionBerbicara soal red flag, kebanyakan orang pasti akan menghindarinya. Apalagi soal "red flag in relationship". Sudah bisa dipastikan banyak orang lebih memilih menghindari hal itu. Namun siapa sangka Julianne Coralline Oswold malah hobi banget deket...