Haris fokus mengemudi motornya. Membelah jalanan malam dengan udara yang terasa sejuk jika menerpa kulit. Lia sedari tadi hanya terdiam. Gadis itu enggan mengeluarkan sepatah kata pun setelah meninggalkan arena balapan liar. Haris pun tak ada niatan mengusik ketenangan gadis itu. Ia membiarkannya berkelana dengan pikirannya sendiri.
"Ris, bisa pelan aja gak? gue males pulang ke rumah!" bisik Lia sambil mengeratkan pelukannya pada Haris serta menenggelamkan wajahnya di punggung lebar lelaki itu.
Haris tak menyahut. Ia hanya menuruti keinginan gadis itu. Laju motor yang awalnya cepat itu perlahan mulai pelan. Terpaan angin malam mulai terasa membelai. Lia memejamkan matanya sekali lagi sembari menghirup udara malam yang tenang itu.
Haris sekilas melirik pantulan wajah Lia yang tenang melalui kaca spion motornya. Ia tersenyum kecil. Entah kenapa perasaannya sedikit lega. Kejadian tempo lalu sedikit mengusik pikiran Haris. Mata sembab Lia dengan wajah pucat pasi, sungguh mengganggu bagi Haris yang selalu melihat tawa gadis itu setiap bersama Yasmin saudari kembarnya. Bahkan Haris ingat betul obat-obat yang berserakan waktu itu dan wajah panik Yasmin yang menyuruhnya membawa Lia pergi.
Lia yang semula memejamkan mata akhirnya membuka matanya. Gadis itu sedikit mengerutkan kening ketika sadar, mereka tidak mengarah ke arah rumah Lia. Lia menjauhkan diri dari tubuh Haris yang sedari tadi ia peluk tanpa permisi.
"Loh ini kan bukan jalan ke arah rumah gue?" celetuknya heran.
"Lo sendiri yang bilang males pulang!" sahut Haris santai, masih fokus dengan kemudinya.
"Iya sih!" gumam Lia setelahnya.
"Lo laper gak? Gue laper nih!" timpal Haris kemudian.
"Eh... Gak terlalu sih, tapi gak apa-apa deh. Mau makan dimana?" tanya Lia kemudian.
"Daerah sini restoran yang buka dimana ya, gue gak terlalu hafal!" lanjutnya.
"Ke warteg aja. Ada tempat langganan gue. Makanannya enak murah lagi!" Lia mengerjapkan matanya beberapa kali.
"Lo bisa kan makan makanan kaya gitu?" tanya Haris kemudian. Dia lupa kalau Lia ini anak orang berada. Bahkan sepertinya status ekonomi keluarganya masih di atasnya.
"Lo pikir gue selebai itu!" sungut Lia kemudian yang berhasil membuat Haris terkekeh pelan.
"Mami dulu suka banget masak-masakan Indonesia," gumamnya.
Haris yang mendengar itu merasa tak enak hati. "Bunda juga jago masak-masakan Indonesia!"
"Iya kah? Wah enak banget!" irinya. Lia menghela napas pelan.
"Rumah gue bisa kok nampung satu orang lagi buat makan!"
Lia tertawa mendengar celetukan Haris barusan. Bahkan ia sedikit menyeka air matanya yang entah bagaimana tanpa permisi bisa keluar. Andai saja ibunya belum meninggal, atau andai saja dia ada saudara, apa dia tak kesepian seperti sekarang? Lia tiba-tiba saja berangan-angan. Bahkan ia bertanya, apa bisa dia menjadi Yasmin yang penuh dengan kasih sayang dari orang tua dan bahkan kakak laki-lakinya yang hanya terpaut beberapa menit saja dengannya.
"Ngaco!" saut Lia kemudian.
"Serius. Kalo lo gak percaya gue tanyain bunda nih sekarang juga!"
Lia menepuk pelan punggung pemuda yang kini tengah memboncengnya itu. "Becanda lo gak lucu, bunda juga pasti udah tidur."
"Iya sih!" sahut Haris kemudian. Lia kembali memeluk Haris.
Bukan karena apa, Lia benar-benar lelah. Lagi pula menyender pada Haris tak masalah. Lia berpikir, Haris pasti juga akan mengganggap dia sebagai adik sama seperti Yasmin. Tanpa Lia sadari, bahwa pikirannya itu salah.
KAMU SEDANG MEMBACA
RED FLAG
Literatura FaktuBerbicara soal red flag, kebanyakan orang pasti akan menghindarinya. Apalagi soal "red flag in relationship". Sudah bisa dipastikan banyak orang lebih memilih menghindari hal itu. Namun siapa sangka Julianne Coralline Oswold malah hobi banget deket...