Acara pertunangan Citra malam ini begitu tertutup hanya dihadiri oleh keluarga dekat dan sahabat-sahabat Citra, selepas acara tukar cincin dilaksanakan Gracio duduk sambil merenung di pinggir kolam renang rumahnya. Sudah banyak yang merubah dari taman rumahnya, mulai dari tata letak bunga, jenis bunga dan bahkan keramik kolam renang yang entah kenapa menjadi berbeda motif. Gracio berfikir apakah begitu lama dirinya meninggalkan rumahnya sehingga hal-hal kecil seperti ini saja dia baru menyadari.
Gracio juga saat ini merasa aneh, kenapa gadis yang selama ini ia hindari begitu dekat dengan keluarganya bahkan saat acara terpenting sekali pun gadis ini hadir. Iya itu Shani.
Shani malam ini begitu cantik dan terlihat sangat dewasa, bahkan ayah, bunda kak Citra dan Sheril begitu dekat dengan Shani, sebenarnya ada apa yang terjadi mengapa begitu banyak hal Gracio tidak tahu. Gracio menyadari bahwa gadis yang sedang ada di fikirannya kini berdiri disampingnya, memegang gelas dan tentu dengan senyum yang begitu manis.
Keduanya sama-sama hening, menikmati suasana yang canggung dan tidak seperti biasanya, dan harus Shani akui bahwa Gracio sudah bukan yang dulu lagi.
"Kamu sepertinya sangat dekat dengan keluargaku, Shan." Gracio membuka obrolan tanpa melihat gadis disampingnya, pandangannya tetap pada air yang begitu tenang di depannya.
Shani tersenyum. "Sangat dekat, begitu kamu memutuskan untuk pergi dan tidak pernah kembali aku selalu menebus dosa ku. Karena saat itu aku benar-benar kehilangan kamu, makanya aku sering berkunjung ke rumah ya meskipun sedikit tapi cukup membuat rinduku kala itu berkurang." Ucap Shani berani, entah apa yang merasuki Shani karena gadis ini begitu jujur padahal jelas menurut Cio bahwa dijari manis Shani sudah ada yang memiliki.
"Kenapa?" lirih Gracio yang tidak percaya dengan jawaban Shani.
Shani tersenyum dan menatap Gracio. "Kamu bisa tanyakan sama Kak Citra semuanya yang sudah terjadi, dan aku harap kita berdua bisa menjadi teman seperti dulu lagi." Kata Shani ragu, gadis ini tiba-tiba saja gugup dengan perkataannya yang terakhir rasanya begitu tidak rela jika hanya sekedar teman.
Gracio tersenyum dan balas menatap Shani, andai saja saat itu Shani tidak membuatnya pergi pasti saat ini keduanya masih bisa bersama. Namun, fikiran itu langsung saja ditepis Gracio.
"Kita akan tetap menjadi teman Shani, apapun yang terjadi dulu aku harap semuanya bisa dilupakan. Aku sudah menjadi masa lalu kamu, dan kamu sudah menjadi masa lalu aku. Hidup kita berdua harus terus berjalan dan aku yakin kamu sudah menemukan bahagia mu sendiri." Cio mengelus rambut Shani dengan ragu, entah mengapa hatinya begitu pilu saat mengatakan itu, rasa tak rela terlalu mendominasi.
***
Gracio Point of View
Pagi ini aku sudah bersiap untuk pergi ke kantor dengan perasaan yang tidak bisa aku jelaskan, pertemuan malam itu dengan Shani membuat aku bertanya-tanya apa yang telah aku lewatkan selama aku pergi. Shani dengan Ayah, Bunda dan Kak Citra sebenarnya apa yang terjadi.
Aku mengendarai motor pagi ini, entah kenapa aku akhir-akhir ini aku sangat senang menggunakan motor vespa ini yang tahun kemarin dihadiahkan Kak Citra untuk diriku. Hari ini aku bertugas untuk mengecek pekerjaan di kantor pusat dan memastikan seluruhnya tidak ada yang bermasalah. Setelah memastikan pekerjaan kantor pusat aku akan pergi ke Kantor Wasista, disana aku akan mengecek pekerjaan Aldo dan tim yang aku tinggalkan.
Kalian pasti bertanya bagaimana perasaanku saat ini, Kalian pasti bertanya bagaimana perasaanku saat ini, saat bertemu lagi dengan Shani setelah semua yang terjadi. Jujur saja, perasaanku campur aduk. Ada rasa rindu yang lama tersimpan, bercampur dengan ketidakpastian dan keraguan. Shani, gadis yang dulu pernah mengisi hatiku, kini sudah berbeda. Tapi, apakah aku juga sudah benar-benar berubah?
Aku berusaha mengalihkan pikiranku dengan fokus pada pekerjaan. Sesampainya di kantor pusat, aku langsung mengecek laporan dan perkembangan proyek terbaru. Segala sesuatunya terlihat baik-baik saja, meskipun aku merasa sedikit tak fokus. Pikiranku terus kembali pada pertemuan semalam. Di satu sisi, aku tak bisa menyangkal kenyataan bahwa ada sebagian dari diriku yang masih menyimpan rasa untuk Shani. Tapi di sisi lain, aku juga tahu dia sudah punya kehidupan sendiri. Haruskah aku terus memendam perasaan ini, atau harusnya aku biarkan saja semuanya mengalir seperti yang seharusnya?
Setelah memastikan semuanya berjalan lancar di kantor pusat, aku bersiap menuju Kantor Wasista. Sesampainya di sana, Aldo dan tim menyambutku dengan penuh semangat. Sepertinya banyak hal yang telah mereka kerjakan dengan baik tanpa kehadiranku. Kami berbincang sejenak tentang proyek yang sedang berjalan, tapi di sela-sela percakapan itu, pikiranku kembali melayang ke Shani. Pertemuan semalam seakan menjadi jembatan yang menghubungkan perasaan lama dengan realita baru.
Tiba-tiba saja Aldo, yang menyadari bahwa aku sedikit melamun, menepuk pundakku. "Kak Cio, lagi kenapa? Kayak nggak fokus gitu deh," katanya sambil tersenyum penuh arti. Dia memang teman lama yang selalu tahu kapan ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.
"Gak apa-apa, cuma lagi kepikiran aja," jawabku setengah jujur.
"Kepikiran siapa? Jangan-jangan Kak Shani, ya?" candanya, membuatku terkejut. Aku terdiam sejenak, menatap Aldo dengan tatapan bingung. Bagaimana bisa dia tahu? Padahal aku tau dia hanya menebak iseng.
Aldo tertawa kecil. "Aku udah lama tahu, Kak. Kalau Kak Shani masih suka mampir ke rumah Kakak waktu Kak Cio masih pergi kuliah di luar. Aku rasa dia masih nyimpen perasaan buat Kakak, meskipun sekarang dia udah kelihatan move on."
Aku terdiam, mencerna kata-kata Aldo. Benarkah Shani masih menyimpan perasaan? Atau mungkin itu hanya asumsinya saja? Tapi apa benar yang aku rasakan juga hanya sekedar masa lalu yang belum selesai?
Pulang dari kantor, aku memutuskan untuk mengendarai vespa dengan pelan, menikmati setiap angin yang menerpa wajahku. Perasaan melankolis mulai menyusup di antara pikiranku. Setiap kenangan tentang Shani muncul satu persatu, seperti slide dari film lama yang kembali diputar.
Sesampainya di rumah, aku langsung disambut oleh Kak Citra yang sedang duduk di teras. Dia menatapku dengan senyum lembut, seolah tahu ada sesuatu yang ingin kutanyakan.
"Kak, aku mau tanya sesuatu. Sebenarnya apa yang terjadi dengan Shani selama aku pergi?" tanyaku tanpa basa-basi, mencoba memahami apa yang sebenarnya terjadi di antara Shani dan keluargaku.
Citra terdiam sejenak, tampak ragu untuk menjawab. "Shani sering datang ke rumah, Cio. Dia merasa kehilangan setelah kamu pergi. Kami semua jadi semakin dekat dengannya, mungkin karena dia juga mencoba menebus kesalahannya dulu. Tapi, kalau kamu tanya apakah dia masih punya perasaan untukmu, itu hanya Shani yang bisa jawab."
"Kenapa Kak Citra nggak pernah cerita tentang ini ke aku?" tanyaku, merasa sedikit kesal karena tidak tahu banyak tentang hubungan Shani dengan keluargaku.
"Cio, kami nggak ingin bikin kamu bingung atau terbebani. Shani sendiri yang meminta kami untuk tidak terlalu banyak bicara tentang hal itu. Dia nggak mau kamu merasa tertekan," jawab Citra dengan lembut, seakan mencoba menenangkanku.
Aku menghela napas panjang. Mungkin memang benar, aku yang harus memutuskan apa yang aku inginkan sekarang. Apakah aku masih mau memperjuangkan Shani, ataukah aku harus merelakan dia sepenuhnya?
"Cio, cincin yang kamu liat di jari Shani adalah dari kakak." Ucap Kak Citra yang semakin membuat aku tidak mengerti. Seperti sadar Kak Citra melanjutkan ucapannya.
"Karena Kakak ingin Shani tidak dimiliki orang lain, makanya kakak yang inisiatif untuk bisa memberikan tanda itu untuk Shani. Karena yang Kakak tau Shani masih begitu menunggu kamu Cio."Malam itu, menjadi malam yang mengejutkan untukku. Aku hanya terdiam melihat Kak Citra berbicara.
Apa benar Shani masih menungguku?...
Hai...
Hehehehe.....
24/10/2024