Chapter 1

278 17 13
                                    

Halo, everyone. Kembali lagi bersama Kalu. Penulis kesayangan kalian (berharap) wkwkwk.

Apa kabar kalian? Tetap semangat yang sedang ujian. Tetap semangat yang lagi bekerja dan tetap semangat untuk yang pengangguran. Semua sudah ada porsinya masing-masing. Hehehe....

Oh, iya. Kalu kembali lagi menulis karena ada panggilan untuk menulis. Oh, tentu saja panggilan para pembaca karyanya Kalu. Kali ini Kalu bawa cerita lama, ehem! Tokoh lama dengan alur baru lebih tepatnya. Semoga suka. Semoga selalu dukung karya Kalu, ya.

Happy reading all🖤

🗣️ Jangan lupa tinggalkan vote dan komentarnya.

Sepasang bola mata hitam dengan bulu mata yang lentik,
terlihat masih setia memandang wajah tampan milik seseorang. Berjarak satu kursi saja, ia cukup leluasa untuk menatap tanpa ada yang mengganggunya.

Alkia, gadis berbandana hitam itu ikut tersenyum saat objeknya juga tersenyum.

"Sempurna," cetusnya.

Tidak ada yang bisa mengalihkan pandangannya dalam beberapa sekon. Sejak dulu, tatapan miliknya masih sama. Tatapan dengan penuh rasa kasih sayang yang mengalir tanpa meminta imbalan. Sebuah rasa yang hadir di antara hubungan dengan nama 'persahabatan'. Persetan dengan status keduanya. Nyatanya Alkia masih tetap menyimpan perasaannya selama tiga tahun lamanya.

Mungkin, terdengar menyedihkan untuk perasaannya yang timbul di antara hubungan persahabatan. Namun, nyatanya ia tidak bisa menolak jika rasa itu hadir di waktu yang mungkin salah. Rasa yang ia tahu jika sampai kapan pun tidak akan menemukan jawaban untuk pertanyaan di benaknya, yaitu akankah perasaannya terbalas atau akan selamanya tumbuh tanpa terbalas.

Semuanya terlalu sulit untuk Alkia jabarkan. Karena jika diungkapkan akan merusak persahabatannya, tetapi jika tetap disembunyikan maka akan terus menyakitinya secara perlahan.

"Pandang terus, Al. Jangan sampai lolos," bisik Syifa dengan nada meledek.

Bola mata Alkia merotasi malas. Ia hampir lupa jika ada satu orang yang mengetahui perasaannya. Orang itu tidak lain adalah sahabatnya juga, Aulia Asyifa.

"Udah gue saranin untuk kesekian kalinya. Mendingan, lo ungkapin perasaan itu," tunjuk Syifa tepat di dada Alkia.

"Sesuatu yang mustahil, Syif. Sampai kapan pun gue akan memendam perasaan ini. Wicis, gue juga belum siap dengan jawabannya, kalau nanti gue mengungkapkan perasaan ini."

Alkia merapihkan buku tulis serta alat tulis ke dalam tas hitamnya. Bel istirahat berbunyi nyaring. Menandakan pelajaran kedua telah berakhir. Tugasnya juga sudah dikumpulkan sejak tadi di meja ketua kelas. Kebetulan kelasnya lebih awal ditinggalkan oleh guru mata pelajaran karena ada urusan mendadak.

"Itu semua terserah lo. Yang jelas gue udah kasih saran. Jadi, kalo suatu saat lo tersesat sama perasaan lo itu, jangan salahin gue."

"Akan gue pastiin itu nggak akan terjadi," seloroh Alkia.

Keduanya pun bergegas menuju kantin untuk berburu makanan. Namun, baru beberapa langkah keluar kelas, Alkia dikejutkan akan kehadiran Ken, sahabatnya sekaligus objek yang ia perhatikan sejak tadi.

"Hai, Ken? Kok, belum ke kantin?" tanyanya.

"Gue tadi udah ke kantin duluan sama Geo dan Ragil. Cuma ada sesuatu yang ketinggalan di kelas," jawabnya.

Alkia mengangguk pelan. Ia melirik Syifa yang cuma melipat tangannya di depan dada sambil menyunggingkan senyuman tipis.

"Mau gue temenin atau—"

CAMARADERIES [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang