Chapter 22

75 1 0
                                    

Deburan ombak yang saling berlomba-lomba mencapai daratan disertai kicauan burung camar serta embusan angin menyambut kedatangan dua insan yang baru saja duduk di atas batu karang.

Sepasang mata memandang jauh pada lautan biru nan luas. Kejinggaan di barat yang semakin pekat membuat pemandangan indah menuju akhir dari perjalanan hari ini.

Suara jepretan kamera analog berhasil mengalihkan atensi yang semula fokus pada keindahan semesta itu.

"Cantik," pujinya sembari mengambil gambar beberapa kali dengan objek yang berbeda-beda. Kemudian, ia mengambil gambar dirinya sendiri dan seorang gadis yang hanya terpaku ketika kamera analog memotret mereka berdua.

"Kak Arsya niat banget bawa kamera," ucapnya ketika Arsya tersenyum melihat hasil jepretannya.

"Karena untuk membuat kenangan memang harus sebaik mungkin agar diingat dengan abadi," imbuhnya.

Lelaki yang sore itu memakai topi hitam menunjukkan beberapa hasil jepretannya pada gadis dengan bandana dan seragam sekolah yang lengkap. Butuh banyak alasan agar gadis itu bisa diizinkan pergi bersamanya. Karena hanya hari ini saja bahkan mungkin untuk terakhir kalinya mereka bersama.

"Bagus, kok, hasilnya. Hampir sama kayak aslinya," puji Alkia—menyerahkan kembali kamera pada sang empunya.

"Selain semesta yang cantik, orang yang menemani gue juga cantik."

Alkia mendelik. "Gombal."

"Gue serius. Semesta kayaknya paham banget untuk menjadikan hari ini momen terindah yang akan gue ingat sebelum pergi."

Wajah yang semua tersenyum itu mendadak datar. Ia menoleh pada Alkia yang juga menatapnya sedari tadi.

"Pacar lo nggak cemburu ajak gue ke sini, Kak?" tanyanya.

"Enggak." Arsya meletakkan kamera analog ke dalam tasnya, lalu mengambil beberapa foto dari tasnya dan memberikan pada Alkia.

"Gue udah selesaikan tugas untuk membuat hidup lo bahagia." Ada jeda untuk menenangkan perasaannya. "Gue bahagia kalo lo bahagia."

Gadis itu mengembalikan lembaran foto itu. "Jadi, lo yang kasih tahu Ken soal perselingkuhan Adel. Kenapa?"

"Karena udah saatnya."

Alkia menggeleng. "Maksud gue kenapa harus sekarang, Kak? Kenapa nggak dari dulu lo kasih semua bukti ini. Kenapa disaat Ken sedang cinta banget sama Adel. Sampai dia kecelakaan beberapa waktu lalu. Harusnya lo kasih tahu gue dulu, supaya nggak serumit ini akhirnya. Apalagi saat itu Ken juga sedang ujian. Itu bahaya, Kak."

"Karena lo." Arsya memalingkan pandangannya ke arah lautan. Ia kehilangan kalimat yang sudah disusunnya jauh hari. Ia tidak bisa dengan mudah untuk mendeskripsikan semuanya.

"Ada apa sama gue?"

"Gue ajak lo ke sini cuma mau bilang terima kasih untuk momennya, Nona Alkia. Terima kasih udah hadir di dalam hidup gue. Maaf, untuk lukanya yang nggak bisa gue sembuhkan. Tapi, gue selalu mendoakan terbaik untuk kehidupan lo selanjutnya."

Bukan jawaban melainkan pernyataan yang Arsya berikan. Ia ingin segera mengakhiri kecanggungan ini.

Di sampingnya, Alkia mendadak tertunduk. Gadis itu merasa nyeri di dadanya mendengar kalimat yang sepertinya memiliki makna, tetapi tidak bisa ia serap dengan baik. Pikirannya terlalu banyak menerka-nerka.

"Gue akan ingat selalu pertemuan kita. Gue nggak akan pernah lupa tentang lo. Gue berharap di kehidupan selanjutnya, gue bisa berperan banyak, Al," lanjut Arsya. "Hari ini terakhir kita bertemu, semoga semesta kembali mempertemukan kita nanti, ya."

CAMARADERIES [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang