Embusan angin menerbangkan helaian rambut curly milik gadis dengan rok mini di atas lutut yang dipadukan kaos dusty. Bibir mengkilap itu berdecak ketika kertas yang ada di tangannya terbang hingga jatuh tepat di dekat sepatu milik seseorang.
Ketika pandangan itu naik, alangkah terkejutnya saat tahu siapa orang yang berdiri di hadapannya dengan senyuman tipis.
"Alkia?"
"Hai," sapa Alkia. Dengan cepat ia mengambil kertas yang ada di dekat kakinya—membaca sebentar lalu memberikan pada sang empunya.
"Lo ngapain di sini?" Pertanyaan bernada tidak suka itu bisa Alkia lihat ketika wajah yang semula terkejut berubah datar.
"Lo sendiri?" Bukannya menjawab, Alkia melempar pertanyaan pada Adel.
"Gue mau nonton Ken," jawabnya dengan ketus.
Melirik jam di tangannya, Alkia mengangguk pelan. "Babak kedua baru aja dimulai. Gue rasa ada atau tanpa kehadiran lo di sini nggak berpengaruh untuk Ken. Sahabat gue baik-baik aja tanpa lo. Lagi pula bukannya lo sibuk les dan setahu gue les itu segalanya untuk seorang Adel. Iya, kan?"
"Sok tahu lo!"
"Ken yang cerita. Kebetulan kita berangkat bareng tadi," imbuhnya dengan nada meledek.
Melihat perubahan raut wajah Adel yang siap untuk marah, Alkia terkekeh pelan.
"Nggak usah marah. Gue ini sahabatnya Ken dan selamanya akan tetap begitu. Meskipun, banyak orang bodoh yang mau memisahkan kami, nyatanya nggak akan bisa." Menekan kata 'bodoh' sembari menatap sinis pada Adel membuat kepuasan tersendiri. Ini saatnya ia untuk menyeimbangkan keadaan.
"Awas lo!" ancam Adel. Gadis itu meninggalkannya—menuju kursi penonton.
Ketika dirinya berbalik, sosok Arsya menghampirinya. Raut wajah datar yang Arsya perlihatkan mampu membuatnya terdiam di tempat.
"Ngapain lo di sini?"
Nada dingin itu terasa asing untuk Alkia. Biasanya ada nada canda setiap kali mereka memulai obrolan. Ada kalimat unik jika Arsya menyapanya lebih dulu. Namun, sekarang rasanya sudah berbeda. Padahal terakhir bertemu, lelaki itu terlihat manis. Sampai Alkia merasakan desiran aneh saat keduanya berkontak fisik.
"Gue...."
"Sebaiknya lo tetap di sana, menonton pertandingan sampai selesai," sela Arsya. "Nggak baik cewek berkeliaran sendiri apalagi di area asing kayak gini. Karena kejahatan nggak mandang situasi apalagi genre," lanjut Arsya.
Meskipun, nadanya dingin tetapi ia bisa merasakan kekhawatiran lelaki itu untuknya. Mungkin, ini cara lain Arsya memberitahukan betapa baik niatnya itu.
"Gue antar lo ke sana."
"Lo sendiri ngapain di sini?" tanya Alkia. Membuat Arsya memundurkan lagi langkahnya, lalu menoleh padanya.
Tangannya bergerak mengambil sesuatu dari kantong hoddie. Ternyata itu adalah sebungkus rokok dan pematiknya.
"Gue mau ngerokok," jawabnya.
"Sejak kapan lo ngerokok?" Alkia kembali bertanya, kini dengan nada tidak suka. Pasalnya, senakal-nakalnya Arsya, dirinya belum pernah melihat lelaki itu merokok atau mungkin Alkia yang tidak pernah mencari tahu.
Namun, untuk apa dirinya harus mencari tahu tentang hal yang sang empunya saja tidak ingin dirinya tahu. Lihat saja bagaimana raut wajah Arsya setelah Alkia mengajukan pertanyaan itu.
Tersenyum tipis, Arsya mengantongi kembali rokoknya. "Nggak semua harus gue kasih tahu lo, kan? Maksud gue hal yang bersifat pribadi hanya akan gue beritahukan sama orang terdekat aja," papar Arsya yang membuat Alkia terdiam seribu bahasa. Tiba-tiba hatinya terasa sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMARADERIES [SELESAI]
Ficção Adolescente𝐃𝐨𝐧'𝐭 𝐜𝐨𝐩𝐲 𝐩𝐚𝐬𝐭𝐞⚠️ Bagaimana jadinya kalau kamu jatuh cinta dengan sahabat sendiri? Mustahil. Satu kata untuk persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang tidak akan jatuh cinta. Karena kenyataannya salah satu di antara keduanya ti...