Chapter 4

77 8 1
                                    

Halo, everyone. Kalu balik lagi, nih, bawa chapter 4. Semoga suka, ya. Minta doanya Kalu sehat terus biar bisa update terus. Hehehe ...

EKHEM! ADA YANG MAU UCAPIN NGGAK NIH? KALU BRITHDAY TAHU😁😁

Happy reading all🖤

🗣️ Follow, Share, vote dan komentarnya jangan pelit yak.

Benda pipih bewarna hitam itu terus berdering sejak tadi. Bahkan, notifikasi pesan masuk pun ikut berbunyi. Kedua notifikasi itu saling bersahutan dalam jangka waktu yang berdekatan.

Alkia menggerutu kesal. Ia pun memilih menggetarkan ponselnya, lalu melanjutkan makan malamnya.

"Kok, nggak diangkat, Al?" Suara wanita yang datang dari arah dapur sembari membawa piring berisi potongan semangka membuat Alkia membalikkan layar ponselnya menghadap ke meja.

"Nggak penting, Bun."

"Kalo nggak penting, nggak mungkin sampai menghubungi kamu terus-terusan. Coba diangkat dulu, barangkali dari teman sekolah atau guru kamu."

"Itu cuma orang iseng, Bun. Nggak usah Bunda pikirin. Sebaiknya Bunda cepet gabung untuk makan malam," kilah Alkia. Ia malas untuk membahas lebih jauh perihal siapa yang menelepon serta mengirimkan pesan beruntun padanya.

Weni sebagai seorang wanita begitu paham dengan apa yang putrinya sembunyikan. Dirinya juga pernah muda, jadi dia tahu betul jika putrinya itu sedang mengalami sebuah masalah hati.

Membiarkan putrinya makan dengan nyaman, Weni memilih untuk menyudahi obrolan dan menarik kursi di hadapan Alkia.

"Gimana sekolahnya?" tanya Weni mengalihkan topik, sembari menyendok lauknya.

"Lancar."

"Terus tangan kamu kenapa bisa diplester gitu?"

Kunyahan Alkia melambat. Ia memang belum menceritakan perihal lukanya pada sang bunda.

"Tadi nggak sengaja kegores di sekolah, Bun. Cuma udah baikan, kok, soalnya langsung diobati," jawabnya dengan jujur.

"Lain kali hati-hati, Al. Bunda nggak mau kamu kenapa-napa," pesan Weni.

Alkia memajukan wajahnya dan tersenyum pada Weni yang menatapnya dengan kebingungan.

"Siap, Bunda cantik."

Weni tersenyum tipis. Alkia memang sering menggodanya dengan kalimat khasnya. Biasanya Alkia memuji seperti itu pasti ada tujuannya.

"Biasanya anak Bunda ini kalo muji pasti ada maunya. Coba, kali ini mau apa?"

Alis Alkia mengerut. "Alkia tulus muji Bunda. Kali ini tanpa tujuan yang aneh-aneh," jawabnya.

"Yakin?" goda Weni.

"Yakin, Bun. Udah, deh, Bunda jangan curigaan gitu sama anaknya."

Bibir wanita dewasa itu tersenyum lebar. Dirinya memang suka sekali menggoda sang putri.

Tidak berapa lama, makan malam mereka selesai. Alkia pun membereskan piring kotornya dan sang bunda, lalu memindahkannya ke tempat cucian. Sedangkan Weni membereskan sisa lauk-pauknya, lalu menutupnya dengan tudung saji.

Di dapur, Alkia bersenandung sembari mencuci piring.

"Oh, iya, Al. Bunda kepo sama cowok yang anterin kamu tadi siang. Siapa, tuh? Kok, Bunda baru lihat?"

Tangan Alkia berhenti menyuci, lalu menoleh kepada bundanya yang kini sudah berdiri di samping Alkia.

"Bunda tahu?"

CAMARADERIES [SELESAI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang