Alkia menutup buku tugasnya, lalu memasukkan ke dalam tas bersama buku mata pelajaran lainnya. Tidak lupa, ia juga mengecek alat tulis serta kelengkapan lainnya agar besok saat di sekolah dirinya tidak kekurangan apapun.
Ketika hendak menutup pintu kamar yang terbuka setengah, seseorang menahannya lalu menerobos masuk ke dalam kamar. Berniat protes, Alkia dibuat bingung dengan pintu yang dikunci.
"Ken, apa-apaan, sih!" kesalnya.
Kunci kamarnya tiba-tiba Ken masukkan ke dalam kantong celana tidurnya. Membuat tangan Alkia yang hendak merebut—tertahan di udara.
"Gue mau ngomong sama lo," ujar Ken yang duduk di pinggir ranjang.
"Ma!" panggilnya pada Weni.
"Tante Weni lagi di rumah gue," jawab Ken. "Percuma manggil karena nggak akan denger."
Berdecak penuh kekesalan, Alkia menghampiri Ken yang kini mendongak menatapnya.
"Mau lo apa? Gue butuh istirahat. Kalo nggak penting atau berurusan sama pacar lo, lebih baik besok aja. Gue nggak minat untuk denger ocehan lo," cecar Alkia.
"Tepat sekali. Gue memang mau bahas Adel."
Sudah Alkia duga. Semenjak berpacaran dengan gadis pengkhianat itu, Ken selalu datang padanya hanya untuk membahas hal yang menurut Alkia tidak ada sangkut-paut dengannya.
"Apa?" tanyanya sembari memundurkan tubuhnya dan duduk di kursi belajarnya.
"Lo tahu, kan, kenyataannya kalau gue mencintai Adel. Jadi, gue mohon banget untuk nggak ganggu cewek gue lagi." Suara Ken berubah lebih tegas dengan sorot mata yang mengintimidasi Alkia.
"Again?" Tertawa sumbang—hatinya merasakan nyeri luar biasa. Ini bukan yang Alkia inginkan meskipun dugaannya benar.
Ia ingin sahabatnya itu datang untuk membahas hubungan persahabatan mereka berdua, tanpa melibatkan nama orang lain lagi. Namun, harapannya harus dihancurkan oleh kenyataan yang Alkia benci.
"Adel bilang tadi siang lo mengancamnya di koridor."
"Dan lo percaya?"
"Iya. Karena kepercayaan nomor satu dalam hubungan kami."
"Waw! Gue terkejut mendengarnya. Jadi, kepercayaan itu hanya antara lo dan dia? Iya? Lantas, kepercayaan dalam persahabatan kita lo abaikan? Gue lebih lama mengenal lo, tapi orang lain yang lebih lo percaya?"
"Karena orang terdekat biasanya paling sering menaruh luka untuk kita."
"Exactly! Dan kalimat itu cocok untuk lo!" tandasnya.
Ken beranjak dari tempatnya—mendekati Alkia. Dengan gerakan cepat, Ken menarik menarik kursi Alkia dan mengungkungnya.
"Gue peringatkan sekali lagi, jauhi Adel dan jangan ganggu dia. Karena sedikit aja gue denger lo menyakiti perasannya, maka gue yang akan bertindak," ujarnya.
Menyunggingkan senyuman tipis, Alkia menatap lurus pada kedua mata yang masih menatap tajam padanya.
"Pacar lo gila perhatian? Sampai-sampai gue difitnah?"
"Satu lagi, Al, sampai kapan pun gue nggak akan bisa membalas perasaan lo. Maka berhenti ganggu hubungan gue."
Terkekeh pelan, Alkia berucap, "perasaan gue untuk lo udah lama mati. Karena Ken yang gue cintai udah nggak ada di dunia ini lagi."
Mendorong bahu Ken dengan kuat, Alkia mengambil sesuatu dari laci meja belajarnya. Sebuah kunci kamar cadangan miliknya ia tunjukkan pada Ken.
"Pergi lo dari sini," usirnya. Membuka pintu kamarnya, Alkia mempersilahkan Ken untuk meninggalkan kamarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CAMARADERIES [SELESAI]
Teen Fiction𝐃𝐨𝐧'𝐭 𝐜𝐨𝐩𝐲 𝐩𝐚𝐬𝐭𝐞⚠️ Bagaimana jadinya kalau kamu jatuh cinta dengan sahabat sendiri? Mustahil. Satu kata untuk persahabatan antara perempuan dan laki-laki yang tidak akan jatuh cinta. Karena kenyataannya salah satu di antara keduanya ti...