Bagian - 6

840 162 10
                                    

"Merek apaan nih? Zara? Gila, kemarin Uniqlo, sekarang Zara. Besok H&M. Kamu benar-benar mengalami perubahan fashion yang signifikan, Al. Yang tadinya under seratus ribuan, mainnya sekarang yang setengah jutaan. Gila!"

Merek baju di dalam lemarinya rata-rata memang seperti yang disebutkan Bilqis. Ada beberapa yang harganya jutaan yang sampai detik ini belum pernah Alara coba. Mereknya Louis Vuitton dan memang bentuknya tidak cocok digunakan secara casual.

"Al, jangan diam saja dong!" Kali ini Elma yang mendesaknya. "Cerita kek pengalaman jadi istri. Zafer memperlakukanmu dengan baik kan?"

"Ya jelas lah! Kalau nggak, Alara nggak mungkin pakai baju sama nenteng tas bermerek. Dari situ aja sudah kelihatan kalau Zafer itu suami yang royal ke istrinya." Bilqis menyambar lebih dulu.

"Aku tanya Alara, bukan kamu!"

"Habis pertanyaanmu bego banget. Sudah jelas-jelas kehidupan Alara berubah drastis sejak jadi istri, masih kamu tanya lagi?!"

"Suka-suka aku lah mau tanya apa! Menurutku pertanyaanku masih sangat wajar ke sesama teman. Itu tandanya aku perhatian sama Alara."

"Mas Zafer baik kok, El. Dia juga luwes banget sama Darren, sudah dianggap seperti anak sendiri." Alara segera menengahi perdebatan kedua kawannya.

"Syukurlah! Darren jadi diurus baby sitter kan? Ambilnya dari yayasan?" Tanya Elma lebih lanjut.

"Iya. Dua orang baby sitter semua dari yayasan. Satu minggu Darren tinggal sama ibu, baby sitternya nganggur. Makanya kemarin Mas Zafer ngajakin jemput Darren. Sebelum-sebelumnya dia masih sibuk sama kerjaan."

"Nah, apa aku bilang, Zafer itu laki-laki baik dan sangat sayang istri. Al, sumpah, kamu beruntung banget!" Lagi-lagi Bilqis menyela.

Alara mengangguk. "Iya, alhamdulillah, Qis."

"Kalau Elma kepo sama kelakuan Zafer. Tapi aku justru kepo sama apa yang kalian lakukan pas malam pertama." Lanjut Bilqis yang membuat Alara sontak menghentikan aktivitas mengetik.

"Itu baru pertanyaan goblok!" Sambar Elma. "Orang nggak sekolah pun tahu yang namanya pengantin baru, malam pertamanya ya pasti making love. Mau ngapain lagi selain itu? Benar-benar pertanyaan goblok!"

"Diam dulu, El!" Teriak Bilqis.

"Enak aja! Siapa situ nyuruh-nyuruh aku diam!" Elma tak mau kalah.

"Ya, aku tahu itu, Al. Tapi, maksudku, hem, gimana ya mau ngomong kok susah."

"Makanya nggak usah kepo sama urusan ranjang orang. Meskipun sama teman dekat sendiri, tetap saja nggak sopan!"

"Sudah dong, setop! Kalian berisik banget loh. Nggak enak sama pengunjung lain. Gangguuuu." Alara berbicara dengan nada lirih tapi menekan.

"Elma tuh yang mulai!"

"Sembarangan! Kamu, biang kerok!"

"Dasar Mak Lampir!"

"Situ Gerandong!"

"Aku balik aja kalau kalian nggak bisa diam." Alara sudah bersiap untuk menutup laptopnya.

"Eh, ya jangan dong! Baru juga ketemu." Tahan Bilqis.

"Iya, baru juga ketemu, Al. Masak sudah mau balik aja?!" Elma menambahi.

"Niatku keluar ketemu kalian biar ada suasana baru buat ngerjain skripsiku. Tapi konsentrasiku malah buyar gara-gara mulut kalian yang nggak bisa diem."

"Kita bakalan diam kok. Ya nggak, El."

"Iya, kita bakalan diam. Kita bahas topik lain aja, Qis."

"Yaps, ngebahas masalah percintaanmu aja, ya. Kemarin orang tuamu telepon katanya ada cowok yang ngelamar kamu. Wah, bakalan ada yang buru-buru pulang ke Tulungagung dong."

Alara menatap Elma. "Serius, El? Apa yang diomongin Bilqis bener?"

Elma mengangguk lemas. "Tapi aku belum jawab, penginku fokus dulu ke kuliah, baru nanti mikir jodoh kalau sudah kelar."

"Kalau aku sih nyaranin Elma buat pulang dan ketemu sendiri sama laki-laki itu. Bagaimana kalau ternyata Allah memang menyiapkan laki-laki itu sebagai jodohnya Elma? Maksudku kamu, El, jangan buru-buru nolak."

"Kalau laki-laki itu jodohnya Elma, segimanapun kerasnya Elma menolak, bakalan tetap berjodoh, Qis!" Alara mengoreksi perkataan Bilqis. "Tapi alangkah baiknya kamu pulang dan menilai sendiri."

"Iya, maksudku juga gitu, Al. Kan nikah bisa juga sambil kuliah. Bukan berarti setelah nikah, kita jadi nggak bebas kan? Buktinya kamu malah ada yang bantuin memikirkan Darren."

"Nggak semua perempuan bisa seberuntung Alara, Qis. Kalau laki-laki itu ternyata nggak sebaik suami Alara gimana? Dan malah ngelarang aku berkarir gimana dong?"

"Jujur aja dulu aku juga sempat berpikir gitu sebelum nerima Mas Zafer, El. Tapi setelah menjalaninya sendiri, ternyata yang aku pikirkan itu hanyalah ketakutan yang nggak ada artinya." Alara mencoba menenangkan. "Kalau saran aku, kamu harus ketemu langsung dengan laki-laki itu, biar kamu bisa nilai sendiri bagaimana orangnya. Ya, kalau memang nggak srek, kamu boleh nolak. Insha Allah jodohmu sudah disiapkan, nggak perlu khawatir."

"Nah, iya, maksudku tadi juga gitu." Sambung Bilqis.

Elma diam, terlihat sedang berpikir. "Yaudah, akhir pekan ini aku pulang. Mumpung waktunya juga lumayan lowong. Minggu depan kita sudah disibukkan sama ujian."

Alara dan Bilqis mengangguk setuju.

"Eh, Al, itu kayaknya Zafer deh. Bener nggak sih?" Bilqis menuding ke arah pintu masuk.

"Iya, itu suamimu, Al!" Pungkas Elma membenarkan.

"Siapa tuh cewek yang lagi sama dia? Briana?"

"Lah, kenapa suamimu jalan sama mantannya, Al?"

Alara menatap kedatangan dua insan tersebut yang langsung disambut oleh pramusaji dan lantas mereka berjalan ke arah privat room. Jujur saja Alara bingung harus bersikap. Hubungannya dengan Zafer masih dalam proses saling mengenal. Alara belum merasakan ikatan batin yang lebih untuk lelaki itu. Mungkin sesekali Alara merasa berdebar saat keduanya sedang berdekatan, tapi bisa ia pastikan semua itu bukan cinta. Tapi saat menyaksikan secara langsung suaminya bersama dengan perempuan lain, Alara harus mengakui jika hatinya merasa terusik.

"Samperin gih, Al. Kamu sekarang sudah jadi istrinya. Kamu berhak untuk melarang suamimu jalan berdua sama seorang perempuan. Terlebih perempuan itu adalah mantannya."

"Iya, benar! Aku temani kalau kamu nggak berani sendiri."

Alara menggeleng. "Nggak usah. Nanti aku tanyakan sendiri kalau sudah di rumah."

"Kamu nggak sakit hati lihat suamimu jalan sama mantannya?!" Suara Bilqis meninggi.

"Mas Zafer pasti punya alasan." Gumam Alara lebih untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Tadi di rumah dia ada ngomong sama kamu kalau mau ketemuan sama Briana? Jangan bilang dia nggak ngasih tahu kamu, dan itu dilakukan secara sengaja supaya kamu nggak tahu kalau sebenarnya dia masih berhubungan sama mantannya? Oh, ya ampun!"

Pelangi Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang