Bagian - 14

942 140 4
                                    

"Al, Mama barusan chat kalau di bawah ada Khalisa. Waktu nikahan kita kemarin dia nggak bisa datang karena masih di Jerman. Kamu ... tahu Khalisa kan?"

Alara yang masih sibuk mengeringkan rambutnya dengan hair dryer mengangguk. Khalisa adalah sepupu Zafer yang kuliah di luar negeri. Karena terlahir dari nenek moyang yang sama dengan Zafer, sudah pasti Khalisa berparas cantik. Tapi sayangnya Khalisa memiliki sifat kurang ramah pada orang-orang yang dirasa tidak sederajat. Waktu itu Alara pernah menyaksikan dengan mata kepalanya sendiri Khalisa membentak ayahnya yang salah mengambilkan kunci kendaraan. Dengan tidak sopan perempuan itu melempar kembali kuncinya sambil bergerutu kasar. Tidak seharusnya Khalisa bertindak seperti itu, toh ayahnya tidak melakukan kesalahan secara sengaja. Dan meski posisi ayahnya di keluarga ini hanya seorang sopir, tapi tetap saja ayahnya adalah orang tua yang harus dihormati.

"Kamu masih lama? Butuh dibantuin?" Zafer mendekat.

"Ini sebentar lagi selesai kok, Mas."

"Lain kali nggak usah dikeringin lah, Al. Nggak mau ke mana-mana juga."

No, itu bukan ide yang bagus. Alara tidak mau menjadi pusat perhatian seisi rumah saat baru keluar kamar dengan tampilan rambut yang basah.

"Nggak usah malu sama Mama. Dia akan jadi orang paling girang lihat menantunya seger pagi-pagi."

Alara benar-benar tidak percaya Zafer bisa seabsurt ini, di balik pembawaannya yang terkesan dingin dan pendiam. "Mas turun saja duluan. Nanti saya nyusul."

"Ngobrol sama istri sendiri benar-benar kayak lagi ngobrol sama karyawan. Sudah tidur bareng, mandi bareng, masih aja begitu."

Alara mendongak, tatapan keduanya bertemu di cermin. Dari kemarin Zafer membahas tentang cara Alara menggunakan bahasa formal saat menyebutkan dirinya. "Mas turun aja duluan, nanti aku susul."

Lelaki itu tersenyum dan mengecup pipi istrinya singkat. "Oke, jangan lama-lama."

Alara meneliti kembali penampilannya di depan cermin. Ia harus tampil sebagai istri Zafer, dan bukan anak seorang sopir.  Kalung berlian yang belum pernah Alara sentuh kini tersemat anggun di lehernya. Ia juga mengenakan anting solitaire dan gelang serut milik Frank n co.

"Sini, Al, duduk di samping Mama." Bu Yunia langsung menyambut Alara begitu sudah sampai di ruang keluarga. Alara menurut, ketimbang bersebelahan dengan suaminya. "Ini sepupunya Mas Zafer, Al. Namanya Khalisa, panggilannya Lisa. Kemarin pas resepsi nggak datang karena masih di Jerman. Ancen endel, kuliah aja minggat sampai ke negara orang."

"Ya harus dong, Budhe. Duit Mama Papa mau dipakai apa kalau bukan untuk nyekolahin aku."

"Halah, di sana juga palingan kerjaanmu pacaran mulu." Zafer yang duduk di sofa lain menyahut.

"Ya gimana dong, Mas, pesona cewek cantik. Aku nggak kecentilan, Budhe, serius. Mereka aja yang pada rebutan."

Tidak salah lagi, perempuan ini masih sama dengan yang ia lihat beberapa tahun yang lalu. Angkuh, dan sombong. Sedari tadi perempuan ini sama sekali tidak mau menatapnya. Khalisa menganggap Alara seolah tak ada di ruangan ini, dia sibuk berceloteh dengan pemilik rumah.

"Budhe, kemarin aku satu pesawat sama pacarnya Mas Shaga. Eh, mantannya sih."

Alara mengerutkan kening. Baru tahu Shaga punya mantan. Selama ini Alara tidak pernah melihat lelaki yang sekarang menjadi adik iparnya itu memiliki kekasih. Padahal Shaga bukan tipikal seperti Zafer yang pandai merahasiakan kehidupan pribadinya.

"Kadang heran deh sama dua sejoli itu. Kalau masih saling cinta kenapa putus sih? Mas Shaga sama Ester itu cocok banget, Budhe. Sebentar lagi Ester juga kelar spesialis. Duh, sayang banget."

"Aku malah senang mereka putus. Biar dia cari istri yang seiman. Menikah beda agama itu memang nggak susah, tapi yang berat itu pertanggungjawabannya nanti di hadapan Allah. Anakku semua laki-laki, yang akhirnya kelak menjadi imam buat keluarganya. Dia tidak boleh salah pilih pasangan. Sekalinya mendapat pasangan yang nggak bener, ganjarannya bakalan berat di akhirat."

Alara merasa suasana ruang keluarga mendadak serius.

"Aku ke pabrik dulu." Menggunakan kedipan matanya Zafer pamit kepada Alara.

"Budhe ngerasa nggak kalau selama ini terlalu keras dengan Mas Shaga?"

Eh, apa-apaan perempuan ini? Bisa-bisanya mengeluarkan kalimat sekasar itu pada orang tua.

"Kamu ini kebiasaan banget ngajarin Budhe, Khal. Memangnya kenapa? Shaga ngadu ke Mamamu?"

"Mas Shaga nggak percaya diri berbagi kesedihannya dengan Budhe karena Budhe sudah lebih dulu menolak perasaannya pada perempuan yang dia cintai. Sementara Mamaku, dia orangnya bijaksana, makanya Mas Shaga nyaman cerita ke Mama."

Posisi Alara sangat tidak nyaman. Menyaksikan perdebatan dua orang yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Alara, haruskah ia menyingkir, seperti yang dilakukan Zafer? Telinganya bisa berasap jika terus berada di tempat ini.

"Mbak Khalisa kok belum dibuatin minum. Saya ke dapur dulu ambil minum ya, Ma. Mama mau dibuatin jus juga?"

"Mama air putih saja. Kamu bawa sekalian klapertar bikinanmu kemarin, Al."

Alara mengangguk dan segera beranjak dari sofa. Sesampainya di dapur rupanya ART sudah selesai membuat jus melon yang akan dibawa ke depan. Alara menahannya. Si ART meletakkan nampan berisi dua gelas jus di atas meja, sementara itu Alara menyiapkan piring dan mengeluarkan kue khas Manado dari dalam lemari es.

"Mbak, tolong klapertarnya ditata di atas piring, ya. Setelah itu nanti langsung dibawa ke ruang keluarga. Saya mau ke kamar mandi dulu. Sakit perut." Padahal itu hanya alasan Alara untuk tidak bergabung dengan mertua dan sepupu suaminya.

Alara memilih masuk ke sebuah ruangan yang sudah disulap menjadi ruang play ground oleh Zafer. Darren terlihat sangat asik bermain karena banyaknya jenis mainan yang tersedia di tempat ini.

"Loh, Suster, kenapa?" Ada yang aneh dengan kedua baby sitter Darren. "Suster Siska kenapa nangis?"

"Hem, itu, Mbak ...." Tangis si suster malah nyaring.

"Sus Siska kenapa, Sus?" Alara beralih pada suster satunya yang tengah menemani Darren bermain block balok.

"Itu, Mbak, sepupunya Mas Zafer ...." Sus Tini terlihat kesusahan menjelaskan.

"Kenapa dengan sepupunya Mas Zafer? Sus Siska diapain sama dia?"

"Bukan saya, Mbak, tapi adek Darren."

Alara melotot. "Apa yang dia lakukan sama Darren, Sus?!"

Kedua suster itu diam, bingung.

"Nggak usah takut. Ceritakan semua ke aku."

"Itu, Mbak ... katanya ... adek Darren bukan anaknya Mas Zafer. Masih banyak lagi, tapi naudzubillah, Mbak, saya nggak sanggup. Jahat banget omongannya." Suster Siska masih sesenggukan.

"Dia benar kok, Sus, Darren memang bukan anaknya Mas Zafer. Tapi Mas Zafer sudah anggap Darren anak sendiri. Jadi suster nggak usah khawatir, kalau suatu saat Khalisa berkata seperti itu lagi, adukan saja ke aku atau ke Papanya Darren."

Alara mungkin tidak bisa langsung melabrak mulut tajam perempuan itu, karena ia tidak memiliki bukti. Tapi nanti, jika perempuan itu masih berulah, Alara tidak akan tinggal diam.

Pelangi Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang