Bagian - 7

892 171 6
                                    

Pikiran Alara terus terforsir pada kejadian tadi siang, dengan mata kepalanya sendiri ia menyaksikan pertemuan Zafer bersama mantan istrinya. Alara bingung, haruskah ia menanyakan alasan pertemuan mereka pada lelaki itu, ataukah membiarkannya begitu saja. Menebalkan mental dan memaklumi bahwa pertemuan dua insan tersebut bukan hal yang perlu dibesar-besarkan. Baiklah, yang terakhir mungkin adalah keputusan yang benar.

Alara kembali melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul sebelas malam. Tidak biasanya Zafer hingga selarut ini belum pulang. Posisi Alara kini sudah berbaring sambil memeluk guling tapi matanya sedari tadi tidak juga bisa terpejam. Sesuatu terasa menumpuk dan menjadi beban tersendiri di kepalanya. Alara mendesah, memindah posisinya menjadi terlentang memandangi langit-langit kamar. Ini jelas bukan perasaan khawatir seperti seorang istri yang menunggu suaminya telat pulang kerja. Hubungannya dengan Zafer belum sedekat itu. Belum sampai ditahap saling posesif satu sama lain.

Saat masih sibuk dengan lamunannya yang tak tentu arah, Alara harus digagetkan dengan suara pintu kamarnya yang terkuak kasar. Lantas umpatan demi umpatan menyusul setelahnya. Alara buru-buru beranjak dari tempat tidur dan menyalakan lampu utama. Sosok itu menendang pintu kamarnya hingga membuat Alara kembali terlonjak kaget.

Penampilan Zafer sangat berantakan. Kemeja kerjanya sebagian kancingnya sudah terlepas dan lengannya ditekuk hingga siku. Alara berdiri kaku di samping ranjang saat lelaki itu mendekat dengan tubuh semboyongan dan aroma alkohol yang menyengat.

"Mas ... Mas Zafer, nggak apa-apa?" Secara spontan Alara menyongsong tubuh besar lelaki itu yang hampir ambruk di lantai. Lelaki itu bergumam tak jelas. Alara menahan napas saat lengan kokohnya memeluk pinggang Alara hingga membuat keduanya jatuh di ranjang.

"Mas Zafer, Mas Zafer nggak apa-ap ...." Belum selesai Alara menuntaskan kalimatnya, lelaki itu sudah merubah posisi menjadi di atas dan mulai menyambar bibir Alara dengan cukup rakus. Alara kaget bukan main mendapati serangan dadakan tersebut. Jantung Alara seperti mau meledak dibuatnya. Ia bukan gadis perawan yang belum berpengalaman, beberapa kali ia pernah melakukannya bersama Reynald, tapi rasanya pasti akan berbeda saat bersama dengan laki-laki yang tidak dicintainya.

Tapi Alara tidak bisa menolak. Sekarang ia adalah seorang istri dan sudah menjadi kewajibannya melayani suami. Dan malam inilah malam pertama bagi keduanya setelah dua minggu sah berstatus halal di mata agama dan negara.

Dengan pelan Alara memindah tangan Zafer yang memeluk pinggangnya sebelum turun dari tempat tidur dan memungut piyamanya yang berserakan di lantai. Jam dinding sudah menunjukkan pukul enam pagi. Tidak terasa sepanjang malamnya kali ini ia tertidur cukup lelap. Mungkin karena ia baru saja melakukan aktivitas yang menguras energinya. Alara buru-buru menggeleng, tidak ingin membayangkan bagaimana cara Zafer menyentuhnya. Ia sempat melirik sekilas sosok yang masih terlelap itu sebelum melangkah menuju kamar mandi.

Guyuran shower air hangat membuat tubuh Alara sedikit rileks. Ia mulai menggerakkan tangannya untuk memijat rambut kepala yang sudah dituangi shampo. Beralih ke badannya yang lantas membuatnya harus berhenti. Seseorang masuk ke dalam kamar mandi dan Alara tidak berani berbalik. Ia lupa mengunci pintu. Tapi tidak biasanya Zafer nyelonong begitu saja. Lelaki itu selalu membiarkannya memakai kamar mandi lebih dulu, baru akan masuk setelah Alara selesai. Tapi sekarang? Sial, Alara tidak bisa menghindar.

"Alara, semalam ... kamu nggak ngerasa terpaksa kan? Aku lagi mabuk. Kadang otak sama tindakan nggak sinkron. Sori, sudah bikin kamu kaget."

Alara tidak menjawab. Ia sibuk menyelesaikan urusannya secepat mungkin agar bisa segera keluar dari tempat ini. Demi Tuhan ia telanjang, dan Alara yakin lelaki itu juga dalam kondisi yang sama dengannya.

"Al ...."

Alara nyaris saja menjerit saat telapak tangan lelaki itu menyentuh pundaknya. Dan suara Zafer semakin terasa dekat. Tubuh Alara membeku. Tangan itu menyusuri punggung Alara, lalu berhenti di pinggang. Alara menggigit bibir bawahnya saat tangan itu digunakan untuk meremas pantatnya dan ia sudah tidak tahan lagi.

"S-saya sudah selesai mandinya, Mas. Pasti sekarang Darren sudah nungguin saya. Dari sejak semalam dia nggak nyusu." Alara memberanikan diri untuk berbalik meski tidak benar-benar menatap suaminya.

"Oh, oke." Lelaki itu mundur, memberi Alara jalan untuk mengambil handuk di rak.

Alara baru bisa bernapas lega saat sudah keluar dari kamar mandi. Jantung Alara rasanya masih berdebar, bahkan efeknya sampai ke jari-jari tangannya. Zafer benar-benar bisa membuatnya gila. Baru juga semalam melakukannya, tapi lelaki itu sudah menginginkannya lagi. Di kamar mandi? Ya Tuhan, apa-apaan ini?!

Alara masih tidak habis pikir. Baiklah, kebutuhan biologis memang hak lelaki itu dan wajib bagi Alara untuk memenuhinya. Tapi, tidak bisakah Zafer memberinya jeda untuk Alara bisa beradaptasi terlebih dahulu? Ia belum sanggup jika harus melayani urusan ranjang lelaki itu lebih dari sekali dalam jarak waktu 24 jam. Ia tidak sehebat itu. Tubuh lelahnya yang semalam terkuras belum sepenuhnya membaik.

"Semalam Darren rewel nggak, Sus?" Posisi Alara sekarang sedang memangku putranya sambil disusui. Pagi harinya Darren baru saja diimunisasi, dan efek dari suntikan itu biasanya Darren akan panas dan rewel.

"Mboten kok, Mbak. Ya memang lebih sering bangun karena mungkin lengannya masih pegel habis disuntik. Tapi setelah dikasih minum susu, Dek Darren tidur lagi." Ujar baby sitter yang bernama Siska. Sedangkan, baby sitter satunya lagi tampak sedang merapikan mainan Darren di ruangan khusus playground.

"Sus Tini, hari ini Darren mau dimasakin apa?" Tanya Alara setelah baby sitter yang biasa menyiapkan mpasi Darren muncul.

"Mau saya buatkan opor ayam, Mbak. Nasi, ayam, wortel, brokoli, tempe dan santan." Jawabnya.

"Wah, Darren pasti mamamnya bakalan lahap banget ya, Nak. Masakan Sus Tini kan enak banget." Alara mencoba berbincang dengan si bayi yang masih sibuk menyusu.

"Berat badannya Adek Darren bertambah banyak loh, Mbak."

"Ohya? Pantesan digendongnya agak beda. Jadi makin montok ya, Baby. Ini pahanya bikin Mama gemes banget pengin nyubit deh."

"Al, kamu masih lama?"

Nyelonong, mungkin akan menjadi kebiasaan Zafer sekarang. Selama kurang lebih satu minggu Darren tinggal di rumah ini, Alara belum pernah melihat Zafer memasuki kamar anaknya. Biasanya Zafer akan mendekat dan menyapa Darren saat sudah dibawa keluar oleh baby sitter.

Akan sangat aneh jika Alara tiba-tiba menutup dadanya yang terbuka, sementara di sebelahnya ada dua baby sitter yang mengawasi.

"Ayo kita sarapan. Aku sudah lapar banget."

Dan sejak kapan manusia satu ini menjadi sangat menyebalkan?! Biasanya Zafer selalu sarapan lebih dulu dan itu tidak menjadi masalah. Tapi kenapa sekarang jadi begini?

"Sini, Mbak, biar Adek Darren saya yang urus. Mbak Alara sudah ditunggu sama Mas Zafer." Baby sitter Siska mengambil alih Darren dari pangkuan Alara.

"Padahal Darren belum puas minumnya. Aku tinggal dulu ya, Sus. Habis ini aku ke sini lagi."

"Inggih, Mbak."

Alara melihat Zafer sedang menyiapkan sesuatu di meja makan. Saat Alara sudah semakin dekat, lelaki itu menoleh. "Tadi aku pesan nasi uduk belakang kampusmu. Ini makanan kesukaan kamu kan? Aku sering lihat kamu makan di sana."

Kejutan apa lagi ini? Seorang Zafer bisa tahu makanan favoritnya dan tidak jarang pula memperhatikan Alara makan di warung.

"Terima kasih, Mas. Mas Zafer seharusnya nggak perlu repot-repot." Alara segera duduk di kursi. Di hadapannya sudah tersaji nasi uduk dengan ayam goreng krispi.

"Aku juga lumayan sering beli di situ kok, tapi selalu di bungkus sih. Nggak pernah makan di sana."

Benar, tidak terbayang Zafer bisa makan di warung kecil pinggir jalan.

"Bebek gorengnya enak." Lanjut lelaki itu.

Berbeda dengan Zafer yang lahap menyantap sarapannya, Alara justru sedikit kikuk. Cara Alara mengunyah ayam goreng tidak sebarbar biasanya. "Kalau saya lebih suka ayamnya sih, Mas."

"Iya, kata yang jual tadi kamu sering beli ayam krispi. Padahal tadinya sudah mau aku pesenin ayam kampung."

Bukan karena lebih suka, tapi lebih kepada irit budget. Maklum, anak kuliahan harus irit.

"Al, Mama nyuruh kita bulan madu. Kamu mau di mana?"

Untung saja Alara bisa mengendalikan diri dan tidak tersedak.

Pelangi Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang