Bagian - 10

1.1K 157 16
                                    

"Semalam aku tidur di apartemen, sori nggak ngabarin." Zafer baru saja sampai rumah dan langsung bergabung di satu sofa dengan Alara. Tadi Alara sempat mendengar suara mesin mobil yang memasuki garasi, tapi ia mengira jika bukan lelaki ini yang pulang.

"Apartemennya sudah laku. Hari ini barang-barangku bakalan diangkut semua ke sini." Lanjut lelaki itu.

"Berarti dari kemarin Mas Zafer sibuk packing ya? Kenapa nggak ngasih tahu saya, Mas? Saya bisa bantuin."

"Kamu kan lagi sibuk, Al, ngerjain skripsi."

Semoga itu bukan hanya alasan saja, yang pada kenyataannya lelaki ini tidak ingin melibatkan Alara ke dalam urusannya. "Dosen pembimbing saya sudah ngasih ACC kok, Mas. Sekarang lumayan lowong."

Lelaki itu menoleh, tatapan keduanya bertemu. "Serius? Syukurlah! Kapan sidangnya?" Tanyanya lebih lanjut.

"Belum tahu. Masih nunggu pengumuman lagi. Katanya paling cepat bulan depan sih." Jawab Alara.

"Kalau gitu ... minggu depan kita bisa ke Bali. Atau kamu ada rekomendasi tempat yang enak? Kamu mau ke mana? Mama nggak bakalan diam sebelum kita berangkat bulan madu." Zafer mengatakannya dengan mantap dan serius.

"B-bulan madu?" Alara langsung gugup.

"Kenapa? Sampai bulan depan kamu beneran lowong kan? Yaudah kita pakai aja bulan madu. Tapi nggak bisa jauh-jauh, Al. Kita ke Bali saja dulu. Kamu sudah punya paspor?"

Jangankan paspor, yang sebagian orang bertujuan membuatnya untuk urusan pekerjaan atau yang lebih beruntung hidupnya untuk liburan. Sementara hal remeh seperti surat izin mengemudi saja Alara tidak punya. Dan Alara baru sekali ke Bali, itu pun karena mengikuti event kampus.

"Kita bisa ke Singapore aja sementara, yang dekat, kalau kamu sudah bosan ke Bali."

"Saya nggak punya paspor, Mas."

"Oh, yaudah, kalau gitu kita ke Bali saja."

"Me-mangnya harus ya, Mas, bulan madu?" Alara memalingkan wajahnya saat lelaki di sebelahnya menatapnya intens. "Saya gampang mabuk kendaraan soalnya."

"Serius? Jadi, selama ini, kamu nggak pernah ke luar kota?" Dari nada suaranya Zafer terdengar sangat heran.

"Saya pernah sekali ke Bali. Dan di sepanjang perjalanan saya pusing, mual. Karena memang saya mabuk kendaraan. Nggak tahan sama aroma di dalamnya yang bercampur AC gitu, Mas. Tapi anehnya pas kemarin naik mobilnya Mas Zafer kok saya nggak mual sama sekali ya?"

"Memangnya kamu waktu itu ke Bali naik pesawat apa sih, Al? Aku kok baru ngerti ada pesawat yang aromanya bikin mual."

Alara mengibas. Duit dari mana naik pesawat? "Saya naik bus, Mas, bukan pesawat."

"Apa?! Naik bus dari Malang ke Bali? Gendeng!"

"Beneran, Mas, saya naik bus. Dan saya benar-benar nggak kuat. Kepala saya pusing banget. Nyambe Bali saja milih langsung tidur di hotel pas teman-teman pada keluar jalan-jalan."

"Kenapa nggak naik pesawat? Ya jelas nggak nyaman lah. Perjalanan jauh. Ada-ada saja kamu ini."

"Dana dari kampus terbatas banget, Mas. Dananya cukup buat bus. Dan waktu itu saya nggak ngeh kalau naik bus bakalan seeffort itu."

"Maksudmu, kamu dibayarin kampus?"

"Iya. Yang bayarin kampus. Kalau nggak, saya nggak akan mau ikut. Ide dari Pimred untuk para jurnalistik. Dikasih uang saku juga perkepala lima ratus ribu. Bahagia dong kami."

Lagi-lagi Alara mendengar Zafer menghembuskan napas panjang. Lelaki ini pasti menyesal sudah menikahi perempuan yang dari status sosial keluarganya tidak sepadan. "Kamu nggak usah khawatir, nanti kita ke Bali naik pesawat kok. Bisnis, bukan yang ekonomi. Pastinya lebih nyaman. Aku jamin kamu nggak bakalan mabuk. Coba nanti aku tanya Shaga, biasanya dia ada rekomendasi vitamin yang cocok untuk menambah kekebalan tubuh. Tadi kamu bilang kalau naik Mercy nggak mabuk?"

"Iya, Mas, kalau naik mobilnya Mas Zafer sih nggak mabuk. Nyaman, wangi dan dingin gitu kan soalnya."

Lelaki itu malah tergelak. "Bisa banget kamu ya?!"

"Saya kalau naik kendaraan umum kayak angkutan gitu pasti pusing. Makanya selama ini saya ke kampus naik motor terus. Nggak bisa kena AC yang bercampur dengan aroma di dalam angkutan umum."

"Kamu bikin aku ikutan pusing, Al."

Alara ikut terkekeh. "Iya, Mas. Yang naik angkutan juga nggak semua baunya wangi sih."

"Ikut aku, Al. Aku punya sesuatu." Lelaki itu sudah lebih dulu beranjak dari sofa. Lalu berjalan menaiki tangga menuju ke kamar. Alara mengekor. Saat sudah sampai di tempat tujuan, lelaki itu membuka lemari dan mengambil paper bag. "Buat kamu pakai nanti malam."

"Apa ini, Mas?"

"Buka aja!"

Alara menuruti permintaan lelaki di depannya untuk membuka tas kertas hitam yang dihiasi dengan pita warna merah muda, dan Alara terkejut setelah melihat isinya. "Mas, ini ...."

"Aku sengaja milih warna merah. Pasti bakalan cocok di badan kamu." Lelaki itu mendekat sambil menyeringai. "Mau dipakai sekarang?"

"Mas ...." Alara mundur, jantungnya seperti akan loncat keluar.

"Nanti malam saja lah! Sekarang aku masih mau ada urusan." Putus lelaki itu sambil berlalu keluar kamar.

Pandangan Alara mengikuti sosok tersebut, lalu beralih pada benda yang ia pegang. Alara melongo. Ia tidak pernah membayangkan akan ada seorang lelaki yang memberinya hadiah pakaian tidur transparan. Lelaki itu bahkan dengan santai memintanya mengenakan benda ini nanti malam. Ya, nanti malam, berarti keduanya akan melakukan ....

Ya Tuhan, Alara tidak bisa mengendalikan rasa gugupnya. Ia buru-buru masuk ke dalam ruang ganti dan duduk di depan meja rias. Kembali ia mengamati tas kertas bermerek terkenal itu. Haruskah Alara mencobanya terlebih dahulu, sebelum tampil di depan lelaki itu? Tidak! Alara tidak bisa melakukannya. Malu, tidak percaya diri, ngeri, dan apa pun itu alasannya.

Mungkin, mulai dari sekarang Alara harus belajar terbiasa dengan tingkah Zafer yang menurut Alara cukup vulgar. Ini juga pasti belum seberapa, mungkin akan ada saatnya juga lelaki itu merundingkan tentang gaya bercinta agar tidak hanya itu-itu saja dan membosankan. Seperti kata Pak Ustaz, sesuatu hal yang tabu bisa menjadi ladang pahala jika dilakukan dengan orang yang benar.

Astaga, astaga ....

Rasa-rasanya Alara ingin menghilang saja dari muka bumi. Lingerie warna merah menyala berada tepat di depan matanya. Selama ini ia hanya melihat benda seperti ini di akun media sosial milik pedagang pakaian dalam. Tapi untuk kualitasnya jelas tidak sebagus yang Zafer belikan untuknya. Alara baru mengalihkan tatapannya dari baju haram itu setelah mendengar suara ponselnya berbunyi. Ada satu pesan masuk dari nomor tidak dikenal.

Jadi perempuan itu mbokya ada harga dirinya. Mau-maunya diajak nikah settingan. Hidupmu sudah sefrustasi itu ya, Mbak? Nggak merasa berdosa gitu jadi seorang ibu yang menghidupi anak dari hasil menjual harga diri? Meskipun itu anak haram. Ops.

Pelangi Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang