Bagian - 3

909 174 7
                                    

"Kamu sudah punya pacar?"

Alara tidak tahu harus mendeskripsikan seperti apa perasaannya sekarang. Sosok gahar yang duduk di hadapannya ini menatapnya dengan tatapan datar. Tidak menunjukkan paras antusias atau pun ekspresi mendamba pada lawan jenis yang membuatnya tertarik. Alara cukup paham, selama ini sudah banyak teman-teman cowok di kampusnya yang terang-terangan mengajak pacaran. Mereka memang tidak sematang putra majikan ayahnya ini, tapi Alara bisa melihat kesungguhan itu dari usaha yang dilakukan. Jadi, apa motivasi lelaki ini mengajak menikah? Alara belum bisa menebaknya.

"Belum, Mas." Sejak tadi Alara bahkan tak berani mengangkat wajah. Ia sudah mirip seperti murid SD yang sedang dimarahi gurunya karena lupa mengerjakan PR, sehingga hanya bisa menunduk takut.

"Terus apa masalahnya? Ibu bilang katanya kamu nolak, tapi nggak ngasih tahu alasannya. Bisa nggak kalau diajak ngomong itu jangan nunduk terus? Aku bukan hantu, ya. Sebelum ketemu kamu, aku juga sudah mandi. Aku cukup layak buat dilihat kok."

Alara kaget dan buru-buru mendongak. "Ma-maaf, Mas. Sa-saya nggak maksud ...." Ini salah besar. Zafer sejenis makhluk yang tidak bisa ditatap lama-lama. Aura yang ditampilkan lelaki ini terlalu mengintimidasi.

"Aku nggak pernah lihat kamu jalan bareng cowok. Berarti kamu memang belum punya pacar. Terus apa alasan kamu nolak?"

Posisinya sebagai putri dari ayahnya serba salah. Alara ingin jujur jika penolakan ini adalah hal yang wajar karena ia tahu diri. Untuk bersanding dengan sosok di depannya ini pasti tidak mudah. Diukur dari segi mana pun keduanya jelas tidak seimbang. Zafer pewaris dari pemilik pabrik rokok terbesar di Indonesia, lebih serasi dengan Briana yang seorang publik figur dengan karir cemerlang.

"Jangan buru-buru nolak. Pikirkan dulu lagi. Aku bisa nunggu."

Tidak. Menolak lelaki ini adalah keputusan yang tepat. Alara tidak akan repot-repot lagi untuk mempertimbangkan. Lelaki yang akan menjadi pendampingnya kelak harus seperti dirinya, yang biasa-biasa saja, bukannya yang memiliki harta tujuh turunan tidak akan habis. Di luar sana sudah banyak kasus seorang suami yang bersikap semena-mena kepada keluarga dari pihak istri karena merasa bukan dari kasta yang sama. Meski selama belasan tahun menjadi seorang sopir, ayahnya belum pernah diperlakukan tidak adil, tapi Alara ingin menghindari risiko itu terjadi.

"Aku pastiin kamu nggak akan rugi jadi istriku. Aku akan kasih fasilitas baby sitter terbaik buat Darren, supaya kamu bisa bebas dengan urusanmu. Kamu bisa fokus dengan kuliahmu, dan sesekali jalan bareng teman-temanmu. So, pikirkan mateng-mateng."

Saat mengutarakan keinginan untuk menikah, laki-laki akan berusaha meyakinkan wanitanya bahwa dialah satu-satunya yang diingini. Satu-satunya wanita yang dicintai dan diharapkan menjadi ibu dari putra putrinya kelak. Meski tidak dipungkiri bahwa manusia tidak akan pernah bisa hidup tanpa uang. Tapi Alara bukan tipikal perempuan matre yang menargetkan calon pendamping hidupnya harus punya segalanya. Ia lebih suka dengan sosok yang bisa diajak berjuang bersama memulai semuanya dari nol hingga keduanya layak.

"Maaf, Mas." Hanya itu yang bisa Alara katakan. Ia berharap lawan bicaranya tidak tersinggung.

"Atau kamu mau sesuatu yang lain? Mobil? Rumah? Kalau kita menikah, itu semua akan jadi milikmu. Jangan khawatir."

"Kenapa saya, Mas?" Pertanyaan itu keluar begitu saja dari mulutnya. Tidak tahu dari mana asalnya keberanian itu datang. "Mas Zafer pasti punya banyak kenalan perempuan yang lebih layak daripada saya."

"Yang bisa nentuin layak nggaknya itu aku sendiri."

"Kenapa Mas Zafer pisah dengan Mbak Briana? Alasan apa yang bikin Mas Zafer memutuskan buat ngelepasin Mbak Briana yang cantik dan sempurna? Saya boleh tahu dong, Mas. Karena kalau nanti saya beneran menerima Mas sebagai suami, saya berharap hubungan pernikahan yang kita jalani bisa langgeng." Entah ini hanya perasaannya saja atau memang respon lelaki ini yang melunak. Tatapannya yang mengintimidasi sudah mulai goyah.

"Nggak ada orang yang menginginkan hubungan pernikahannya berantakan. Briana sendiri yang memilih untuk meninggalkanku." Ujar lelaki itu yang terdengar miris di telinga Alara.

"Kenapa? Kesalahan apa yang bikin Mbak Bri milih pisah? Nggak mungkin Mbak Bri meninggalkan Mas tanpa alasan kan?"

Lelaki ini mudah sekali mengubah ekspresinya kembali ke awal, kaku dan mengintimidasi.

"Selingkuh?" Lanjut Alara. "Pernikahan itu sakral. Saya benci dengan kecurangan. Dan saya yakin itu berlaku pada semua perempuan, nggak ada perempuan yang rela diduakan."

"Aku nggak pernah selingkuh. Kamu akan tahu alasannya nanti, setelah jadi istriku."

"Mas pernah KDRT? Menyakiti istri dengan secara verbal?" Kejar Alara yang membuat lelaki itu semakin menatapnya lekat.

"Apa jika sudah tahu alasannya kamu akan mempertimbangkan aku? Atau justru semakin memperkuat alasanmu buat menolakku?"

"Bu-bukan begitu, Mas. Sa-saya berhak tahu kan masa lalu laki-laki yang akan menjadi calon suami saya?"

"Apa jaminannya kamu bisa tutup mulut setelah tahu semuanya? Kamu bukan istriku, aku nggak bisa mengontrolmu setiap hari. Bisa saja setelah ini kamu bergosip dengan teman-temanmu kan?"

Sontak saja Alara menahan napas. Ia seolah baru saja dipukul telak.

"Kamu pasti tahu kalau manusia nggak ada yang sempurna. Dan menjadikan kelemahan itu sebagai aib untuk menjatuhkan adalah suatu hal yang nggak dibenarkan." Lelaki itu menengok arloginya sambil beranjak dari tempat duduk dan meletakkan tiga lembar uang berwarna merah di atas meja. "Cukup segini dulu ngobrolnya. Sepuluh menit lagi aku ada meeting. Kita berkabar di chat, ya."

Alara masih belum bergerak dari tempat duduknya. Jika biasanya berada di kafe dengan menu enak dan mahal akan ia pergunakan baik-baik, tapi kali ini kopi yang harganya hampir ratusan ribu itu tak disentuh sama sekali. Nafsu Alara untuk menikmati hidangan yang tersaji di hadapannya menguap begitu saja.

Tidak ada yang kurang dalam diri seorang Zafer Luftan Aksa Bhagawanta, sesuai arti dari namanya, tampan dan sukses. Keraguan itu justru berasal dari dalam diri Alara. Kondisinya yang memiliki anak tanpa menikah sudah menjadi kekurangan mutlak baginya. Sebuah status yang menegaskan bahwa Alara tidak bisa menjaga martabatnya sebagai seorang perempuan terhormat. Seharusnya ia bersyukur masih ada lelaki yang mau menikahinya dan menanggung kesejahteraan putranya. Sedangkan di luar sana banyak lelaki yang lepas tanggung jawab pada darah dagingnya sendiri.

Alara memang terlalu angkuh. Bila status duda lelaki itu dan alasannya bercerai dianggap aib yang perlu ia pertimbangkan, lalu disebut apa kondisi yang dihadapi Alara sekarang?

Meski belum sepenuhnya mengerti motif Zafer melamarnya, tapi niat lelaki itu adalah baik. Lelaki itu bahkan sangat peduli dengan putranya. Benar kata lelaki itu, seharusnya Alara tidak buru-buru menolaknya. Baiklah, Alara akan memikirkan ulang tawaran itu.

Pelangi Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang