"Semalam Mas Zafer nggak pulang, Al?" Tanya ibu mertuanya, saat Alara baru saja sampai di kebun bunga. Wanita paruh baya yang pernah menjadi majikan dari ayah Alara ini memiliki hobi dengan tanaman. Area belakang rumahnya yang luas disulap menjadi kebun berbagai macam bunga yang konon jika diuangkan bisa mencapai ratusan ribu hingga jutaan per pcs.
"Inggih, Ma." Jawab Alara singkat. Gara-gara lelaki itu yang sama sekali tidak memberi kabar, semalam Alara bahkan sampai tidur larut.
"Dia nggak chat kamu?" Ibu mertuanya terlihat kesal dengan kelakuan putranya. "Al, kamu jangan mau diginiin sama Mas Zafer. Sekarang dia kan sudah jadi suamimu. Kalau dia agak melenceng, seperti contohnya semaleman nggak pulang, tegur aja, Al. Protes. Kamu jangan diam saja, ya. Jangan takut. Nanti Mama juga akan tegur dia."
Alara mengangguk sungkan. Meski sudah hampir satu bulan menjadi menantu di rumah ini, perasaan segan itu masih terasa kental.
"Kita duduk di situ yuk, ada yang mau Mama ceritakan." Ibu mertuanya menggiring Alara untuk duduk di sofa panjang yang memang disediakan di kebun bunga.
"Kamu nggak ngerjain skripsi hari ini?" Tanya wanita itu begitu keduanya sudah duduk bersebelahan.
Hari ini Alara sedikit lowong, kemarin dosen pembimbing skripsinya sudah memberi ACC untuknya melakukan sidang bulan depan. "Skripsinya sudah di ACC kemarin, Ma. Jadi hari ini pengin bersantai-santai dulu."
"Kalau pengin ke rumah ibumu sama Darren nggak apa-apa loh, Al. Ibumu pasti kangen juga pengin ketemu cucunya." Ibu mertuanya terlihat ikut senang mendengarnya.
"Iya, Ma. Nanti saja agak sorean main ke rumah ibu."
"Berarti sebentar lagi kamu sidang skripsi dong? Alhamdulillah. Nanti kamu harus lanjut kuliah S2 loh, ya. Kamu harus sekolah tinggi. Cita-citamu harus tercapai."
Perasaan hangat terasa menghujani benak Alara. Wanita yang duduk di sebelahnya ini memang tidak pernah berubah, dari dulu hingga sekarang, selalu memberinya semangat dalam hal pendidikan. "InshaAllah, Ma. Saya bisa berada di titik ini semua berkat Mama."
"Yo nggak lah! Kamu sendiri yang memang berkeinginan keras untuk sukses. Banyak anak yang sudah Mama support tapi nggak berhasil karena memang anaknya tidak memiliki niat keras." Ibu mertuanya menatap Alara sambil tersenyum lembut. "Mama berharap kamu bisa fokus sama kuliahmu dan sukses. Kamu kelak yang akan mengangkat derajat kedua orang tuamu, Nak."
Alara menganggu haru. "Terima kasih banyak, Ma."
"Al, begini, sebenarnya sudah dari kemarin-kemarin Mama pengin bahas ini sama kamu, tapi belum nemu waktu yang tepat. Mama lihat kamu juga masih sibuk dengan skripsi. Takutnya nanti malah ganggu konsentrasimu."
Alara menyimak. Ibu mertuanya terlihat ingin membahas hal yang sangat serius. Yang Alara sendiri tidak bisa menerkanya.
"Mama pengin sedikit cerita singkat tentang Mas Zafer dan mantan istrinya. Mama nggak bermaksud gimana-gimana ya, Nak. Hubungan mereka sudah selesai, dan kamu yang sekarang jadi menantu Mama, yang harus Mama jaga dan sayangi. Niat Mama cerita, hanya supaya kamu nggak merasa kecil hati. Mama memandang kamu, dan menantu Mama yang dulu itu sama. Kamu spesial dengan kelebihanmu sendiri, begitu sebaliknya."
Alara berusaha memahami meski tak urung jantungnya berdetak cepat.
"Sampai sekarang bahkan Mama belum paham alasan Briana milih pisah dari Zafer. Mereka menikah sudah cukup lama, delapan tahun. Mama tanya ke Briana, apakah dia memang pengin nunda? Eh, besoknya malah kabar pisah yang Mama terima."
"Mbak Briana jawab apa pas Mama tanya soal kehamilan?" Topik ini cukup menarik atensi Alara.
"Dia nggak jawab. Nggak tahu apa cuma perasaan Mama saja atau memang Briana nggak terlalu suka kalau Mama membahas soal cucu. Menurut kamu, Al, bukankah wajar saja seorang ibu bertanya seperti itu ke anaknya? Umur Zafer dan Briana sudah di angka tiga puluh tiga. Mama bukan mertua yang cerewet, yang menuntut, nggak, Mama cuma bertanya sebagai seorang ibu yang perhatian pada anaknya."
"Iya, Ma, saya mengerti. Kalau menurut saya, Mama sudah melakukan hal yang benar kok. Tapi, apa Mama nggak coba tanya ke Mas Zafer? Mas Zafer pasti yang lebih tahu kenapa sampai Mbak Briana minta pisah."
Ibu mertuanya menatapnya lama. "Alara, Mama berharap kamu bisa menjadi menantu Mama sampai seterusnya. Sebelum jadi menantu Mama, kamu sudah Mama anggap seperti anak sendiri."
Alara merasa jika ibu mertuanya sengaja menghindar dari pertanyaannya. "Ma, saya mau tanya. Jujur, waktu itu saya masih terlalu kaget, jadi belum bisa berpikir panjang. Mas Zafer berniat menikahi saya itu atas keinginannya sendiri atau ...."
"Itulah, Nak ... Mama minta maaf untuk itu. Mama sangat mengenal anak Mama. Zafer itu cinta banget sama Briana. Dan waktu Briana minta cerai, Zafer sudah mirip seperti orang yang nggak punya semangat hidup. Segala hal sudah Mama lakukan untuk mengembalikan semangatnya. Sampai tiba-tiba dia minta Mama untuk ngasih tahu ibumu kalau akan melamarmu. Mama kaget, Al. Berulang kali Mama tanyakan lagi, Mama tegasin, apakah dia benar-benar serius dengan niatnya menikahimu. Mama juga nggak mau karena keputusan impulsif membuat hubungan keluarga kita jadi nggak baik."
"Jadi, jadi ... semua memang keputusan Mas Zafer sendiri ya, Ma? Tanpa campur tangan Mama? Apa Mama tahu kalau sampai sekarang Mas Zafer masih sering nemuin Mbak Briana?"
Ibu mertuanya mengangguk lemah. "Itulah, Nak. Mama minta maaf ya, Al. Dia sudah sama kamu kok ya masih ketemu Briana. Maunya apa itu anak?! Tapi Mama janji, Al, akan bantuin kamu supaya Zafer nggak bisa semena-mena lagi sama kamu."
"Mas Zafer baik kok, Ma, nggak pernah semena-mena sama saya." Alara tidak mungkin mengeluh pada wanita ini.
"Dia nggak pulang semalaman dan nggak ngasih kabar ke kamu, itu sudah sangat salah, Nduuuuk. Kalau ibumu sampai dengar kamu diperlakukan seperti ini sama suamimu, pasti ibumu bakalan sakit hati. Itu juga yang Mama rasakan saat Briana bikin anak Mama nggak berdaya sampai berbulan-bulan."
"Ma, maaf, saya punya satu pertanyaan lagi."
"Apa, Nak?"
"Hem, setelah berpisah, apakah Mama masih pernah bertemu Mbak Briana?"
"Secara nggak sengaja pernah, waktu itu di acara pernikahan anaknya teman Mama. Hubungan Mama sama Briana tetap baik. Dia masih seperti Briana yang pertama kali Mama kenal. Begini, Nak ...." Ibu mertuanya meraih tangan Alara dan diremas pelan. "Briana itu masa lalu Zafer, sekarang, kamu yang menjadi masa depannya. Kamu sudah menjadi menantu Mama dan kewajiban Mama sebagai orang tua melindungi kamu. Mama janji. Kalau sampai Zafer berani nyakitin kamu, meski notabene dia anak kandung Mama sendiri, Mama nggak akan pernah bela dia. Mama pastiin, kalau Mama akan selalu di pihak kamu."
Alara beruntung sekali memiliki seorang ibu mertua yang baik dan sangat tulus. "Ma, saat saya memutuskan menerima lamaran Mas Zafer, itu artinya saya sudah siap menanggung segala risiko yang ada. Mama jangan khawatir, ya."
"Nggak salah lagi. Kamu benar-benar istri yang tepat buat Zafer."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelangi Kedua (TAMAT)
RomanceKekasih Alara yang seorang prajurit TNI dikabarkan tewas saat bertugas di Afrika. Meninggalkan Alara yang kala itu tengah hamil muda. Rencana pernikahan yang sudah matang dipersiapkan harus kandas. Alara hancur. Percobaan bunuh diri berulang kali te...