Bagian - 17

722 121 15
                                    

Untuk yang kedua kalinya Zafer tidak pulang ke rumah tanpa kabar. Waktu itu Zafer beralasan sedang mengurus barang-barang di apartemennya yang sudah laku terjual. Entah kali ini lelaki itu akan membual apa lagi padanya?!

Alara mendesah, seharusnya ia tidak perlu memikirkan suami bertanda kutip sementaranya itu. Seharusnya ia tidak perlu memikirkan di mana keberadaan lelaki itu dan apa yang sedang dilakukan. Setelah mengetahui motif Zafer menikahinya, seharusnya Alara sadar dan tidak terlalu berharap. Namun terkadang hati tidak berjalan seiringan dengan logika. Alara tidak mengerti mengapa perasaannya pada lelaki itu terasa campur aduk dan susah dikendalikan.

"Kok dari kemarin saya nggak lihat Mas Zafer pulang nggeh, Mbak?" Suster Siska yang sedang menyuapi Darren membuyarkan lamunannya yang sempat melantur. Alara baru saja selesai membuat kue basah dan beberapa menu masakan bersama para ART, yang rencananya akan dibawa ke acara pengajian nanti malam di masjid. Setiap jumat malam ibu mertuanya rutin mengikuti acara keagamaan tersebut. Dan sekarang Alara duduk di sebelah Darren sambil menonton televisi yang menyuguhkan tayangan cocomelon.

"Lagi ada kerjaan yang belum kelar, Sus." Alara masih waras untuk tidak mengungkapkan kegundahan hatinya pada seorang pengasuh anak, bukannya menyelesaikan masalah, justru akan menjadi boomerang baginya.

"Sibuk nggih, Mbak." Balas si pengasuh. "Kalau Mas Zafer nggak pulang ke rumah pasti karena alasan yang penting, mengurus pekerjaan, memang beliau orang sibuk. Bukannya nggak pulang ke rumah karena sengaja mau nyari kesenengan di luar."

Alara mengerutkan kening. "Suster Siska lagi curhat apa gimana ini? Kok ekspresinya menjiwai banget."

"Hehehehe, mau curhat tapi ada Adek Darren."

"Darren juga belum ngerti, Sus. Eh, tuh, dia malah fokus nonton."

"Kan kebanyakan laki-laki begitu, Mbak. Seribu satu yang otak dan perilakunya bisa lurus." Meluncur begitu saja dari mulut si pengasuh.

"Suster Siska lagi ngomongin siapa sih?" Mau tidak mau akhirnya Alara menanggapi.

"Hari-hari belakangan ini saya sedikit punya masalah sama mantan saya, Mbak. Dia minta balikan."

Alara yang mengetahui status pengasuh anaknya adalah seorang janda menjadi sedikit berempati. "Terus apa jawabanmu?"

"Saya sudah nggak bisa, Mbak. Saya sudah kapok. Dulu pas waktu masih menikah, saya sudah berulang kali ngasih dia kesempatan. Nggak pulang semalaman tahu-tahu paginya muncul di rumah dalam keadaan mabuk dan bau pelacur. Itu saya lalui hampir sepanjang usia pernikahan kami. Awalnya saya hanya pasrah, tapi tiba di titik saya benar-benar lelah dan akhirnya berani mengambil keputusan pisah."

"Ya ampun, Sus." Jujur Alara tidak bisa berkata-kata setelah mendengar kisah hidup perempuan di hadapannya ini.

"Itu nggak mudah, Mbak. Dan saya nggak mau melakukan kesalahan dengan cara menerima dia kembali. Kelakuan dia benar-benar hampir merusak mental saya."

"Oh, pantesan kamu ganti nomor WA, ya? Mas Zafer sempat ngomong kalau nomormu nggak bisa dihubungi."

"Inggih, Mbak. Saya ganti nomor saja. Tapi yang saya galaukan itu, mantan saya orangnya nekat, Mbak. Saya takut dia tahu keberadaan saya dan sembrono nyamperin."

Alara mengibas. "Nggak usah khawatir. Di depan ada dua satpam. Di rumah ini banyak laki-laki bodyguardnya Papa. Masalah keamanan dijamin di sini sangatlah aman."

"Inggih, Mbak. Saya bukannya takut sama dia. Saya cuma sungkan sama ibu dan bapak. Dia itu orangnya tidak tahu tata krama."

"Ibu dan bapak bakalan bisa ngerti. Kamu tahu Mbak Tina hampir seumur hidupnya tinggal di sini karena dia sudah nggak punya keluarga."

"Katanya dari mulai masih perawan ikut ibu nggih?"

Alara mengangguk. "Sama ibu sempat dijodohkan sama satpam sopir temannya. Akhirnya cocok dan menikah. Tapi musibah datang, suaminya meninggal."

"Ya Allah, kasihan."

"Begitulah hidup!" Alara memperhatikan putranya yang sudah selesai menghabiskan satu mangkuk oatmeal. "Sudah kenyang, Darren? Enak maemnya, Nak? Kamu makin gembul aja!"

"Saya taruh dulu ke belakang ya, Mbak." Si pengasuh beranjak dari tempat duduknya mau mengembalikan peralatan makan Darren. "Mbak Alara mau diambilkan sesuatu di dapur? Bau sedepnya masakan Mbak Tina sampai sini loh. Menggoda selera banget."

Alara mengangguk. "Kamu belum sarapan kali! Sarapan sana dulu, Sus!"

"Panjenengan diambilkan camilan apa, Mbak?"

"Bawain kue lapis sama lumpur. Sama jus kacang hijau di kulkas."

"Siap!"

Tak lama, perempuan yang usianya tak jauh beda dari Alara itu muncul sudah dengan nampan berisi kudapan dan minuman. "Banyak banget makanan di dapur, Mbak. Kata Sus Tini yang ngebantuin bikin es cendol dari tadi nggak berhenti ngunyah. Tinggal di sini nggak pernah kekurangan gizi, makanya timbangan menanjak terus."

"Es cendolnya sudah jadi, Sus? Hih, aku mau es cendolnya."

"Sampun, Mbak. Saya ambilkan nggeh. Enak banget, tadi saya sudah icip-icip. Hahahaha."

"Kalau gitu jusnya taruh lagi di kulkas. Nekat aku minum dua-duanya bisa over sugar ntar! Duh ah, niatnya aku diet jadi gagal begini."

"Bodynya Mbak Alara sudah seksi banget kokya masih diet. Manis dan cantik diambil sendiri sama Mbak Al, makanya Mas Zafer klepek-klepek."

"Sus! Apaan sih?!"

Suster Siska sudah menghilang setelah diteriaki oleh Alara. Bersamaan dengan itu, rungunya menangkap deru mesin kendaraan yang berhenti di garasi. Jantung Alara tiba-tiba saja berdebar, ia sudah mulai hafal dengan suara mesin mobil milik suaminya. Tak lama kemudian sosok yang ditunggunya muncul. Alara tertegun, lelaki itu melewatinya begitu saja. Penampilan Zafer yang tidak sama dengan saat dia berangkat kemarin membuat isi kepala Alara dipenuhi banyak pertanyaan.

Alara memutuskan untuk mengikuti lelaki itu masuk ke dalam kamar. Di perjalanan menapaki undak-undakan, perasaannya sedikit was-was. Kemarin Alara merasa hubungannya dengan Zafer sudah berada di tahap lebih baik ketimbang saat awal-awal pernikahannya. Lelaki itu akan mengecup keningnya setiba di rumah, dan setelahnya akan menyapa Darren, sesekali juga mengajaknya bermain.

Sikap tak acuh lelaki itu membuat Alara merasa kerdil dan tak dianggap. Alara bingung dan berdiri kikuk, mengamati suaminya yang melepas pakaian dan menggantinya dengan singlet yang biasa digunakan untuk olahraga.

Alara mendekati lelaki itu. "Mas Zafer ... mau ngegym ya? Aku barusan bikin jus kacang hijau mau nggak? Aku ambilin ya?"

Lelaki itu tidak mengeluarkan sepatah katapun, bahkan seolah tidak menganggap keberadaan Alara yang berdiri tidak jauh darinya. Alara merasa semakin kikuk. Ia membiarkan Zafer menyelesaikan kegiatannya mengenakan sepatu.

Dengan cekatan Alara mengambil handuk kecil yang terlipat rapi di rak dan lekas diberikan pada suaminya. "Mas Zafer nggak apa-apa? Sudah sarapan belum? Di rumah lagi banyak makanan loh." Ini untuk yang kedua kalinya Alara membuka percakapan. Meski hasilnya nihil, lelaki itu sudah lebih dulu enyah dari hadapannya.

Tidak ada yang bisa dilakukan Alara selain berpikir keras, apa yang sebenarnya terjadi dengan lelaki itu?

-TAMAT-
Baca kelengkapan ceritanya di aplikasi Karyakarsa. Terima kasih. 🫶

Pelangi Kedua (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang