11| Pembuktian

471 33 0
                                    

Pagi ini, hampir semua orang dari masing-masing divisi berkumpul di lobby. Kata Agus, tidak ada tempat yang cukup untuk mengumpulkan seluruh tim divisi yang jumlahnya 25 orang dimasing-masing divisi selain lobby utama kantor. 

Aku duduk di dekat Mba Runi, menghindari duduk dekat dengan teman-teman cowok, kalian tau alasanku. Meskipun ya si Agus ogah jauh-jauh dari aku karena ingin membicarkan beberapa film baru yang sedang tayang di bioskop. Malam minggu nanti, ia mau jalan sama pacarnya. Dia yang mau ngedate aku yang pusing pilihin filmnya. 

Sementara itu semua produser dimasing-masing divisi duduk di dekat Mas Boim, aku bisa melihat tatapan semua perempuan tertuju pada Diaz. 

"Eh Gus, lo punya fotonya Diaz tanpa masker gak sih?" Aku menyenggol bahu Agus, ia sedang mencomot permen dari stoples di dekatnya. Melihat Diaz segitunya di perebutkan, rasa penasaranku timbul lagi.

"Lo udah masuk grup kantor belum sih?" Agus membuka bungkusan permen dengan tak sabaran. aku hanya mengangguk mendengar pertanyaannya. 

"Disitu ada kontaknya Diaz."

"Terus?"

"Lo liat pp-nyaa!" Aku mendekap mulut Agus, nyaris semua orang menoleh pada kami karena asik sendiri. menurutku tidak salah, karena briefing belum dimulai. Tapi malu juga kalau diperhatiin satu kantor gara-gara ngegosipin atasan sendiri. Aku melirik ke arah Diaz, ia tampak cuek. sudah ku bilang, dia itu susah di tebak, sejak kejadian lusa ia bahkan tidak bicara sepatah kata pun padaku. Dia terus-terusan menghindariku. Padahal caranya membelaku kemarin membuatku sangat terkesan.

"Sama aja! nih." Kataku sambil menjulurkan ponselku ke depan Agus, aku memelankan suara agar tidak terdengar anak-anak yang lain. meskipun mereka juga asik sendiri. 

Agus sempat melongo beberapa saat, melihat foto profil Diaz dengan muka ditutupi Masker.

"Tiga tahun gue kenal Diaz, dia gak pernah ganti pp loh selama ini. Kok tiba-tiba diganti sih?" Agus berdecak, entah kagum atau merasa ada yang salah. 

"Guyss!" Suara Mas Boim membuat suasana riuh tadi menjadi tenang, mata Mas Boim menyapu seisi ruangan, lalu pandangnya jatuh tepat ke arahku. 

"Kansa, sini." perintahnya pelan, aku nurut-nurut aja, tapi Agus malah dengan semangat bertepuk tangan entah untuk alasan apa. Aku malu sendiri karena kelakuannya, karena yang lain jadi terbahak. 

Mas Boim mengarahkanku untuk berdiri tepat disebelah Diaz, aku bisa merasakan tatapan tak suka dari mata Sita yang menghujaniku. 

"Selamat buat divisi empat, bulan ini kalian yang berhak ngerjain project iklan, script Kansa yang di acc client." Suara riuh langsung terdengar dari divisi empat, Agus loncat kegirangan. Aku juga ingin melakukannya, tapi sebaiknya aku sesantai Diaz. Namun aku tidak bisa menyembunyikan air muka ku yang memerah. 

Dari penjelasan Agus, saat ia mengajakku keliling kantor. ada beberapa project yang memiliki bonus cukup besar kalau ada divisi yang berhasil di acc client, salah satunya adalah pembuatan video iklan. Masing-masing divisi akan menjadi saingan selama periode itu, tapi setelah periode memperebutkan hati client itu berakhir, keadaan kantor akan kembali normal. 

"Congrats Sa. Good job." Diaz membisikkan itu saat semua orang saling bertepuk tangan dengan perasaan senang sekaligus cemburu pada divisi empat. tengkukku seketika meremang, suaranya hari ini terdengar lebih maskulin dari biasanya. 

Dengan perasaan puas aku menoleh ke arah Sita dan para penulis lain yang menatapku tak terima. Dan aku baru tau penulis dari divisi dua yang belakangan ini menggosipiku itu bernama Mega. Kata Agus, dia mantan Mas Boim yang gagal move on. Aku bangga pada diriku sendiri, ternyata aku bisa memberikan pembuktian pada mereka, bahwa aku memang layak.

"Senin, kalian udah mulai kerjain project ini." Mas Boim mempersilahkan aku duduk lagi, Mba Runi dan Agus menyambutku dengan bangga. 

"Keren deh anak baru, jangan kapok ya Sa." Aku mengangguk mendengar ucapan Mba Runi, tapi reflek memukul Agus karena ia menggoyangkan badanku saking semangatnya. 

Mas Boim menyampaikan beberapa informasi tambahan sebelum membubarkan semua anak-anak kantor agar kembali bekerja senormal-normalnya. 

"Sa, hari ini mau makan siang bareng gue?" Mas Boim menghampiri aku dan Agus yang malas mengantri naik lift jadi memutuskan untuk menunggu dengan duduk manis di sofa lobby. 

"Yang diajak Kansa doang nih?" Protes Agus dengan wajah yang sengaja dibuat-buat kecewa. 

"Iya." Jawab Mas Boim, nadanya terdengar pongah. Aku nyaris terbahak melihat wajah Agus yang mengap-mengap tak percaya. 

"Tapi aku bawa bekel Mas." selain itu, aku juga tidak tertarik makan siang dengan Mas Boim. Tapi tidak mungkin aku terang-terangan mengatakan hal itu padanya. 

"Makan malem?" Tanya Mas Boim lagi, padahal ia menegurku waktu itu. ia mengatakan bahwa hubungan kami dikantor hanya sebatas teman kerja. tidak lebih. Tapi sekarang ia malah terang-terangan mengajakku makan malam di depan anak-anak lain. 

"Ehm, Liat nanti deh Mas." Aku membalas dengan wajah cengengesan. untungnya ia langsung mengangguk tanpa bernego lagi. 

Aku mencari sosok Diaz diantara produser yang lagi sibuk berbincang di smoking area. Ternyata ia tidak disana, aku setengah berharap dia bukan perokok. Jujur saja aku memang naif, tapi kalau sampai yang satu itu juga ada pada Diaz, lengkap sudah kriteria pasanganku ada padanya. 

Agus menangkap basah aku yang sedang celingukan, wajahnya yang curiga dan penuh rasa penasaran itu membuatku geli sendiri. 

"Lo ada main rasa ya sama Diaz?" Aku menatap Agus dengan wajah datar. 

"Apaan sih!" Aku hendak bangkit, malas meladeni Agus. Tapi begitu melihat sosok Diaz di gandeng perempuan yang beberapa hari lalu bersamanya dicaffe depan kantor, aku meringkuk lagi di disebelah Agus. 

"Tuh, lo liat sendiri, Diaz udah punya pacar. Ngapain gue main rasa sama dia!" aku kepo setengah mati , tapi gengsi kalau tanya-tanya soal urusan pribadi orang lain pada Agus. Namun ada celah untukku, menjadikan pembelaanku sebagai kedok untuk membuat Agus buka mulut. 

"Clara ? dia mah bukan pacar Diaz lagi, udah mantan." Agus menggelengkan kepalanya, entah tujuannya apa. 

"Dia kerja di divisi mana?" Aku menanyakannya senatural mungkin, agar Agus tidak mencurigaiku. 

"Dia bukan karyawan disini, tapi adiknya Boim, makanya bebas berseliweran sana sini." Aku tidak terlalu mengenal Mas Boim, seperti yang aku katakan sebelumnya. Jadi ya wajar aku tidak tahu menahu soal cewek itu. 

Ia sedang asik membicarakan sesuatu, tapi Diaz enggan memberinya tanggapan. Pasti karena Clara enggan memakai masker, siapa yang rela wajah secantik itu di tutupi protokol kesehatan. Meskpin merugikan, ia sepertinya tidak sadar bahwa Diaz maniak kesehatan. 

"Ayo balik keatas." Agus menyeret tanganku, Mba Runi juga tiba-tiba muncul dengan membawa sebungkus bakso. Aku sebenarnya masih penasaran dengan Diaz, namun aku buru-buru mengikuti langkah Agus menuju lift. 

UNTOUCHABLE EX !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang