26 | Ternyata Bukan Cinta

341 19 1
                                    

"Lo bisa gak sih jangan cengar cengir di depan gue?" Agus melahap satu potongan pizza yang baru saja diantar oleh salah satu pelayan. Sesuai dengan yang disampaikan Mas Boim kemarin, hari ini Dzaki benar-benar mentraktir semua anak-anak divisi empat untuk makan-makan. 

Karena aku gak punya tumpangan selain Agus, jadilah aku dan anak tengil ini datang lebih dulu. Ia merengek kelaparan bahkan sejam sebelum acara dimulai. karena suasana hatiku benar-benar berbunga, aku dengan senang hati memesan satu pizza sebelum acara makan yang seesungguhnya dimulai.

Saat ini aku sedang berbalas pesan dengan Dimas, tadinya ia marah karena aku datang dengan Agus, tapi aku juga tidak ingin menjadi pusat perhatian karena datang terlambat bersama Dimas—belum banyak yang tau kalau aku dan Dimas berpacaran dan— 

"Ya jangan dimakan sendiri juga dong Gus!" aku ikut mencomot satu slice pizza, dan memakannya dengan santai, sambil sesekali cekikikan karena Dimas mengirimiku beberapa foto kemarin malam. 

"Lama-lama gue doain juga lo!" 

"Kenapa sih lo sewot mulu?" Aku menunjukkan wajah super nyolotku pada Agus, yang ia balas tak kalah nyolot denganku. 

"Diaz beneran patah hati gara-gara lo Sa." wajah cemberut Agus membuatku merasa bersalah. Tapi sepertinya bukan karena wajah jeleknya, namun karena ia terkesan tidak berbohong kali ini. 

"Bisa gak sih berhenti bilang Diaz suka sama gue? Sifatnya dia itu pure karena Diaz itu orang yang care sama temennya." 

"Cih! temen bapak lo kali!" 

"Apaan sih Gus, hari ini lo sewotnya bener-bener deh!" Aku meringsut disebelah Agus, moodku hilang karena anak ini sepertinya memang ingin mencari perkara. 

"Gue bukan sewot kalee! Kemarin gongnya! waktu acara syukuran spontan uhuy kemarin, si Diaz mabuk berat." Aku memasang kuping meskipun menunjukkan wajah tak tertarik pada cerita Agus. 

"Dan pas gue balik ke kamar, gue udah nemu dia lagi tiduran sambil ngigo nyebut-nyebut nama lo." Aku bergeming, Diaz mabuk sambil menyebut-nyebut namaku? Apa segitunya dia pengen aku ikutan acara syukuran sampai kesalnya kebawa ke alam bawah sadar?

"Lagian kenapa lo murahan banget sih?" 

"Enak aja gue dikatain murahan." mataku mendelik ke arah Agus, aku membenarkan poni tipisku yang menusuk mata. 

"Gimana gak murahan? apa iya ada orang yang gak berubah selama bertahun-tahun? gimana kalau ternyata Dimas itu mau sama lo karena fisik doang?" Aku jadi merasa tertampar dan takut untuk sesaat. Memang saat itu, yang membuat Dimas pangling adalah fisikku, dan berkali-kali ia memujiku dengan sebutan aku glow up dan segala macamnya. Dia bahkan tidak mengatakan sesuatu yang menurutku bisa menjadi tolak ukur juga—Dimas sama sekali tidak mengatakan kalau dia merindukanku. 

"Udah ah, gue males dengerin lo lagi." Aku memutuskan untuk kabur sesaat dari ocehan Agus. 

Cafe yang dipilih Dzaki ternyata oke juga, ada balkon yang langsung memperlihatkan hamparan kota yang terlihat indah di siang bolong nan terik ini. Aku memejamkan mata untuk menikmati semilir angin yang menerbangkan sedikit rambutku. 

Setelah merasa aku punya cukup kesabaran untuk adu mulut lagi dengan rekan tengilku itu, aku memutar tubuh dengan maksud kembali pada Agus, namun jantungku nyaris copot dari tempatnya. Diaz sedang berdiri tepat dihadapanku. Hari ini ia mengenakan kaos hitam polos dan jeans yang cocok banget dibadannya, dan tidak ketinggalan masker wajahnya yang selalu nemplok sempurna—menutupi sebagian auratnya.

Ia menatapku dengan sinar mata yang sama—dingin. 

"Kemarin lo pulang ke kost jam berapa?" Diaz menjajari tubuhku, ia menyilangkan tangan tepat di depan dada. Rasanya seperti sedang diintrogasi papa. 

UNTOUCHABLE EX !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang