13| Salah Paham

425 28 0
                                    

"Gilaa, Mas Diaz terang-terangan nih pdkt sama cewek baru." Komentar Mba Runi, ia sedang menikmati segelas smoothies, dan mengedipkan matanya padaku saat aku mendekatinya. 

"Gue masuk dulu ya mba." Aku malas meladeni cengan mereka, lagian aku merasa sedang marahan dengan Diaz. Ia benar-benar merusak minggu pagiku. 

"Lo siapa?" Clara menghadangku, tentu saja ia tidak mengenalku. selama ini aku yang memperhatikannya diam-diam. Ia menatapku seakan-akan  aku adalah perempuan murahan yang baru saja keciduk jalan bareng sama pacarnya. 

Aku menjulurkan tanganku padanya, ia masih bocah. Terlihat dari caranya cemburu.

"Kansa." Tapi ia menepis tanganku lebih dulu. 

"Gue gak minat tanya nama lo! lo tolol atau gimana sih? kalau lo bawa virus gimana?" Hanya satu cara yang bisa aku lakukan untuk menghadapi remaja labil seperti Clara ini, diam. Dulu saat pacar Dean tiba-tiba datang menamparku, aku juga melakukan hal yang sama, diam hingga ia mendapat penjelasannya sendiri. Tentu saja aku tidak pernah merestui perempuan kurang ajar seperti itu mengencani adikku. pembalasan yang setimpal.

Aku menatapnya dari balik masker, aku juga punya aura pembunuh. Maksudku, aku bisa menatap orang tanpa berkedip untuk membuat mereka merasa tidak nyaman. 

Diaz menarik tangan Clara, membuatnya pergi dari hadapanku. Aku mendengarnya mencak-mencak tak karuan. Mungkin ia menganggap mantan pacarnya itu sedang membelaku. 

"Harus banget lo gangguin gue pagi-pagi begini?" 

"Clara kangen Mas Diaz." aku mendengar suaranya yang super manja itu. Ternyata selera Diaz cukup aneh untuk kepribadiannya.

"Kamu jangan deket-deket dia dong, aku masih berhak cemburu." aku menoleh, menatapnya dengan wajah sinis sekali lagi, sebelum akhirnya aku masuk ke dalam kost.  

Lengkap sudah kekacauan minggu pagiku. Setelah saling memaki dengan Diaz, kini aku menjadi tontonan anak-anak kost hingga tukang pipa yang sedang sibuk ngopi bareng Pak Rusli. 

Aku mengambil segelas air, meneguknya dengan tak sabaran, lalu berjalan menuju kamar. 

Saat hendak memutar kenop pintu, sebuah tangan menahanku. Cincin hitam yang melingkar dijarinya, aku mengenali tangan itu. Diaz.

"Apaan lagi? Lo mau minta ganti rugi gara-gara sepeda yang lo pinjemin tanpa gue iyakan itu gue gak jaga baik-baik?" Aku merasa marah, tapi untuk alasan lain. Aku marah karena kejadian di depan kost. 

"Nanti sore, keluar sama gue-" Ia menahan kata-katanya sejenak

"Temenin gue ketemu client, Boim lagi sibuk." Apa ini sikap baru Diaz? matanya yang biasa terlihat sayu jika dilihat sedekat ini malah lebih tajam dari mata pisau,cukup membuat hatiku berdebar tak karuan. Ia seperti laki-laki yang gengsi menunjukkan perhatiannya, tapi malah terkesan memaksa saat ia mengajakku melakukan sesuatu atau menolongnya. 

Aku tidak menjawabnya, aku masih bergeming. 

"Kalian ngapain?" Agus muncul dari lantai atas, membuat kami gelagapan.

Diaz tidak menghiraukannya, memilih buru-buru masuk ke kamarnya. 

Aku juga ingin kabur, malas menanggapi tuduhan-tuduhan Agus.

"Kalian tadi mau ciuman halal?" katanya dengan wajah tak terkontrol. 

"Maksud lo?" Aku meraba kenop pintu, siap siaga kalau-kalau Agus tiba-tiba mengeluarkan jurus ngerapnya. 

"Itu tadi? wajah kalian sama-sama deket, kalo gak gue pergokin pasti mau ciuman kan? Jadi alasan lo nanya-nanya soal mantan Diaz kemarin karena kalian beneran punya hub-" Aku membekap mulut Agus, lalu setengah mendobrak pintuku, dan aku buru-buru masuk kamar. 

Agus menggedor pintuku beberapa kali, tapi akhirnya ia pergi juga setelah lelah sendiri. 

***

Aku menghabiskan beberapa jam setelahnya dengan video call Mama. Ia sudah terbiasa tanpa aku dirumah, jadi dia hanya mengoceh seputar hal-hal yang berhubungan dengan kesehatan dan keselamatanku disini. 

Sekitar pukul empat sore, seseorang mengetuk pintu kamarku. Aku mengintip dari celah jendela, aku akan pura-pura tidur kalau orang itu adalah Agus. Tapi sosok itu ternyata Diaz. 

Aku menepuk kepala, aku lupa sore ini aku harus menemani Diaz bertemu client. dan aku belum siap-siap. 

Gue lagi mandi.

Kenapa lo tau gue yang ngetok?

Oke, ternyata caraku cukup bodoh. Aku memakai baju terbaikku, lalu menggunakan parfum sebanyak-banyaknya. tentu saja aku tidak memiliki waktu yang cukup untuk mandi. 

Aku keluar kamar dan nyaris menabrak tubuh Diaz, ia benar-benar menungguiku di depan kamar? ia tiba-tiba membuang muka saat aku menatapnya heran.

"Lo beneran mandi?" 

"Yaudah ayo berangkat." Aku tidak menjawabnya, meskipun secara tidak langsung ia akan tau aku tidak mandi. 

Diaz melangkah lebih dulu, kemudian aku mengekor. 

Kami berangkat menggunakan mobil kantor, minggu sore ternyata jalanan cukup ramai. Diaz menatap jalanan di depan dengan fokus, bahkan saat mobil benar-benar berhenti, ia masih enggan menatapku.

"Client gak tau hari libur ya?" kata ku dengan nada sarkas. 

"Kata Boim, client kita masih muda, jadi ya millenials." Cara Diaz mengatakan millenials terdengar ganjil di kupingku. 

Suasana menjadi canggung, masalah tadi pagi sudah berlalu  di kepalaku. Namun aku menduga Diaz sepertinya masih marah padaku. 

Kami sampai pukul 5 kurang, di sebuah kedai kopi dekat dengan pusat kota. client millenials. Sebelum turun, Diaz tiba-tiba melempariku kemeja luaran yang ia kenakan. 

"Meskipun lagi buru-buru, jangan lupa perhatiin baju yang lo pake." 

"Baju gue kenapa?" Aku menilik kemeja putihku, sial kancing paling atas ternyata hilang. pantas saja anak ini tidak mau menoleh ke arahku sejak tadi. Wajahku memerah, untung saja ia tidak melihatnya karena aku memakai masker. 

"Ganti, gue jagain dari luar." 

Aku keluar dari mobil begitu mengganti pakaianku. Diaz lagi-lagi membuang muka saat melihatku mengenakan kemeja hitam miliknya, jujur saja, ini agak kebesaran. untung saja aku memakai bawahan yang masuk dengan kemeja ini, jadi tidak tumpang tindih. Setidaknya, aku tidak akan menjadi tontonan gratis si client millenilas. 

"Ayo." 

UNTOUCHABLE EX !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang