32 | Kembali Ke Realita.

399 29 1
                                    

Aku menggeliat dengan tubuh yang rada pegal, mataku mengerjap dan meraba kasur tempatku tertidur. Mataku menyipit saat ku dapati matahari menjurus masuk dari jendela dan menimpa wajahku dengan cahayanya yang hangat pagi ini.

Aku melihat keadaan balkon, dua botol alkohol masih bergeletak di atas meja. Aku bangkit, menguap beberapa kali, ku rasa, sudah saatnya aku membeli kacamata, mataku ternyata mulai merabun. Dengan jalan gontai, aku berjalan menuju toilet, aku tidak tau jenis alkohol macam apa yang Kak Anwar kirimkan pada kami, yang pasti aku tidur bak mati suri, dan jujur saja aku terbangun karena kebelet.

Ngomong-ngomong, kemana perginya Diaz? apa dia memesan kamar lain karena enggan tidur sekamar denganku? bukannya aku berharap loh ya, hanya saja, ada sofa yang nyamannya sebelas dua belas dengan kasur hotel ini, ia tak harus pergi kan.

Aku menggeser pintu toilet, dan ku dapati tubuh seseorang bertelanjang dada, air belum mengering di tubuhnya, aku mendongak dan mendapati Diaz menatapku dengan wajah syok, rambutnya basah, namun pandanganku jatuh pada bibir kecilnya. Sial, bisa-bisanya birahiku bergejolak.

"Sor.. sorry, gue kira lo pindah kamar." Aku langsung menggeser lagi pintu toilet, hingga menimbulkan bunyi berdebam, karena aku gelagapan, tenagaku jadi lebih kuat.

Pintu bergeser lagi di belakangku, "Mandi, kita pulang, ke kost." tangan Diaz yang dingin menyentuh pundakku yang terpampang karena piyama hotel yang kebesaran, membuatku merinding pagi-pagi begini.
  "Dara sama Kak Anwar ninggalin kita?"Diaz mengangkat bahunya, kemeja semalam masih kelihatan on point di tubuhnya.

"Mungkin, gue baru cek hp, ada spam telpon dari Anwar, kita ketiduran." Aku bergegas untuk membersihkan diri, dress yang semalaman aku pakai juga sudah mengering, dan tergantung di lemari hotel, pasti Diaz yang melakukannya.

***

Aku dan Diaz sampai di kost tepat tengah hari, di kalender, hari ini tanggal merah, jadi sudah pasti anak-anak kost lagi asik menikmati liburan singkat mereka. Selama di perjalanan, aku berusaha untuk tenang, mau tidak mau aku memang harus menghadapi ini, toh kalaupun aku lari tidak akan ada gunanya, gosip apapun akan selalu menyebar di kantor.

"Terimakasih pak." Diaz membayar taxi dan menahanku sebelum masuk.

"Lo gak papa kan?" Aku mengangguk mendengar kekhawatiran Diaz, seharusnya aku mengganti baju di tempat Dara sebelum pulang, tapi anak itu sedang fitting baju nikahan, jadilah dengan terpaksa aku langsung pulang dengan keadaan begini. Aku tau ini akan cuma menyebabkan masalah lain, tapi bodo amat lah, toh omongan mereka tidak akan membuatku kenyang.

"Neng Kansa?" Pak Rusli melongo, aku jadi kebingungan melihat reaksinya.

"Siang pak, anak-anak lagi pada dimana?" Diaz mendongak untuk mengintip keadaan kost.

"Lagi pada makan siang Nak Diaz." Diaz mengangguk paham, namun seperti biasa, seharusnya kita tidak boleh langsung mencerna begitu saja maskud kata-kata Pak Rusli, karena ternyata anak-anak yang lain lagi pada makan siang bersama di depan kost.

"Kansaa!" Agus langsung menghambur ke arahku tanpa pikir panjang, untungnya Diaz sempat meminjamkanku jas miliknya, jadi aku tidak terlihat vulgar-vulgar amat di depan anak-anak lain.

"Jadi lo hilang semaleman buat nyariin Kansa? gila, ternyata lo bisa sebucin ini ya Az." Agus mendapat tatapan sewot tak terduga dari Diaz.

"Sorry ya Gus." Kataku, entahlah, aku pikir aku harus minta maaf pada semua orang saat ini, aku merasa malu karena merusak acara syukuran lusa.

"Emang udah pantes lo minta maaf! lo bikin gue khawatir tau gak?!"

"Sa?" Aku mendongak untuk menatap Mba Runi, ia memelukku dengan erat, ternyata tidak seburuk yang aku takutkan, mereka masih peduli padaku, seharusnya aku tidak boleh meragukan ketulusan mereka.

"Sorry ya Mbak, gue bikin kacau semuanya."

"Apaan sih, kita semua tau, kalau lo itu di tipu, jadi jangan nyalahin diri sendiri Sa." Aku menahan air mataku, tentu saja aku tidak ingin ada adegan haru haruan disini, lagi pula, aku tidak ingin terlihat lemah lagi.

"Lo udah makan siang?" Aku menggeleng mendengar pertanyaan Mas Abe yang saat ini menyodorkan sebotol minuman dingin padaku. "Ganti baju dulu, nanti gabung sama kita."

Diaz ngacir lebih dulu, karena tidak ingin di tanyai Agus macam-macam. Aku berpamitan untuk masuk ke dalam, dan untungnya mereka memang keluarga yang paling pengertian padaku.

Aku membanting tubuh dengan perasaan lega di atas kasur, banyak panggilan dan pesan yang masuk, aku harus menghubungi Papa dan membalas beberapa pesan yang aku hiraukan dua hari ini.

UNTOUCHABLE EX !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang