14| Ternyata bukan Client.

423 33 0
                                    

Kami memasuki kedai kopi bertema industrial. banyak anak muda nongkrong sana sini, kebanyakan dari mereka fokus pada gadget masing-masing, bermain game. ada juga yang duduk sendirian dipojokan, dengan laptop didepan mata. Aku seperti melihati diriku sendiri-saat dulu menyusun skripsi. 

"Lo mau pesen apa?" Diaz melambaikan tangannya di depanku, aku tidak sadar sedang melamun. tiba-tiba aku merindukan Dean, melihat anak-anak seumurannya sedang asik nongkrong, aku harap Papa tidak keras padanya saat aku tidak di rumah. 

Covid-19 dikabarkan sudah mulai mereda minggu-minggu ini. Dari kalangan masyarakat, tentu saja anak muda yang paling antusias dan bahkan merayakannya jauh sebelum keputusan pasti dari pemerintah. 

"Ehmm, yang aman-aman aja deh. Matcha latte" Diaz mengangguk, lalu menyampaikannya pada barista cowok yang kelihatannya lelah banget. Mungkin ini jam pulangnya, dan rekan penggantinya belum sampai. Aku baru mengerti rasa lelah karena bekerja itu seperti apa, dulu aku tidak mau tahu dengan keadaan orang-orang disekitarku. 

Diaz memesan kopi hitam, lagi-lagi aku berpikir ini kesempatan yang bagus untuk mengetahui seperti apa wajah dibalik. Tentu saja, ia tidak mungkin memakai masker saat hendak menyeruput kopi hitamnya nanti. 

"Client kita bakalan telat 15 menit, jadi selama itu kita bisa cek lagi hal-hal yang mau disampaikan nanti." Diaz mode profesional.

Aku mengangguk mantap, Diaz sudah booking satu ruangan kecil di kedai kopi itu. sepertinya kedai ini menjadi langgangan tempat meeting santai juga, selain tempat nongkrong tentunya. Karena di beberapa bilik kaca lainnya, aku melihat sekumpulan pekerja kantor sedang melakukan meeting. 

Kami berdua duduk bersebelahan, tak lama minuman yang kami pesan sampai. Aku hendak mencepol rambutku yang terurai, aku sudah menyisirnya dengan rapi menggunakan tanganku. hingga aku sadari sesuatu. Jepit rambutku tertinggal. 

Aku benci diriku yang pelupa. 

"kenapa?" Diaz menatapku, lebih tepatnya memperhatikan tanganku yang aku singkap ke atas, mungkin karena aku bergeming cukup lama. 

"Gerah." Aku hendak melepas gulungan rambutku, Tapi Diaz menahannya.

"Gue bisa satu trik." 

"Sorry." Katanya sebelum menyentuh rambutku, aku teringat seseorang. tapi lebih baik aku tidak mengingatnya. itu akan membuatku sedih. 

Entah apa yang ia lakukan pada rambutku, tapi ia berhasil membuatnya terikat tanpa bantuan jepit atau ikat rambut. Aku menatapnya bingung. Aku hanya mengenal satu manusia dimuka bumi ini yang bisa melakukan trik ini. Mama Dimas, Mama dari mantan pacarku. 

"Gue sering ngelakuin ini waktu rambut gue panjang." Ia mengeluarkan laptop dari tas miliknya. entah kenapa aku malah terkesan padanya. 

"Lo gak mau minum pesenan lo? nanti dingin." Aku memancing. 

Sebelum Diaz sempat menyahutiku, pintu bilik kaca terbuka. Sosok laki-laki bertubuh tinggi kurus masuk, ia mengenakan kaos dengan design salah satu band indie yang viral beberapa tahun lalu. mengingatkanku lagi pada seseorang. Ia mengenakan masker hitam, penampilannya khas millenials yang gemar memperhatikan fashion. 

"Hei, sorry gue telat." Suaranya membuatku tersentak, aku merasa familiar dengan suaranya. Ia duduk di depanku dan Diaz, sejenak aku pikir mengenalinya dengan baik. Aku berharap banyak dalam hati, semoga tidak. 

"Gak masalah, kita belum lama juga kok." Diaz menatapku, lebih tepatnya sedang meyakinkanku agar tidak gugup, karena ini client pertamaku. 

"Gue Dzaki." ia menjulurkan tangannya lebih dulu. kepadaku.

UNTOUCHABLE EX !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang