16| Casting

391 26 0
                                    

Aku membanting tubuh di kursi kantor, hari ini aku dan Diaz dapat urusan buat casting talent. Aku membuka kontak Dzaki, yang nomernya sudah aku simpan sebelum membuang kartu namanya. 

Aku mengetik beberapa kata, kemudian menghapusnya lagi. Kemudian mengetik lagi kata-kata yang lebih formal, aku berpikir dua kali sebelum mengirimnya. 

"Hadepin aja Sa, jangan takut. Ada gue, lo gak bakal sendirian nanti." Aku tidak sadar Diaz sedang berdiri dibelakangku,memperhatikan aku yang sedang uring-uringan dan parno sendiri dengan agenda hari ini.

"Oke, gue kirim." Aku memencet ikon kirim pada whatsapp. dan tidak aku sangka, Dzaki membalasnya secepat kilat. 

Lo jadi ikutan casting talent hari ini?

Pasti, kalau lo yang nyuruh gue pasti dateng.

Aku memperlihatkan isi pesan itu pada Diaz. aku menunjukkan wajah kesalku pada Diaz.

"Semua pasti baik-baik aja kok, hal kayak gini biasa terjadi di kantor, lo bisa tanya Mba Runi. Sampai sekarang dia masih di hubungin client yang 2 tahun lalu di handle sama dia." 

"Beneran mba?" Aku reflek bertanya saat Mba Runi lewat disebelahku sambil membawa secangkir kopi.

"Iya, bulan depan gue nikah sama dia." 

"itu sih namanya untung!" Diaz dan Mba Runi kompak menertawakan aku. Aku menggerutu sambil membalas pesan dari Dzaki dengan emoticon senyum.

***

Aku memperhatikan Agus yang asik menggeliat di sofa lobby, ia penasaran seperti apa tampang Dzaki. Aku menceritakan pada Agus alasanku menangis kemarin, ia mati penasaran setelah melihatku yang jarang menangis terisak di depan Diaz. Jadi aku lebih memilih jujur pada manusia satu ini, toh ia bisa dipercaya. 

Aku menatap pintu utama kantor dengan was-was, entah kenapa aku masih belum siap menghadapi Dzaki untuk kedua kalinya. Hari ini dia mengiyakan untuk ikut menjadi mentor selama proses casting talent. Diaz sudah menyiapkan ruangan dilantai 5 , lantai yang memang dikhususkan untuk proses produksi iklan. 

"Muka lo jangan tegang gitu dong Sa, gue kan jadi ikutan nerpes." Agus duduk tegak melihatku menatap keluar dengan wajah yang mungkin memang tidak bisa di kontrol. Mba Runi dan Mas Boim yang menyambut Dzaki di lobby kantor.

Setelah melihatku menatapnya dengan mata bengis, Agus buru-buru meringkuk lagi. Aku buru-buru berdiri begitu melihat rambut cokelat mba Runi terlihat dari pintu kaca. Agus yang melihatku siap siaga juga ikutan bangun dan nyaris terjungkal.

Mas Boim muncul saat Mba Runi masuk, disebelahnya sesosok Dzaki dengan kemeja rapi tersenyum pada Mas Boim. Penampilannya benar-benar panutan millenials. 

"Gilak, jadi dia owner brand lokal kesukaan gue?" Agus menyenggolku dengan siku. Agus mengenakan salah satu kaos bertuliskan By Mistake, salah satu brand milik Dzaki yang menduduki peringkat teratas brand lokal di kota ini. Aku sudah melakukan reset kemarin malam.

"Kenapa? lo jadi gak suka lagi pake brandnya?" Aku menyingkap buku catatanku dibalik tangan yang ku lipat di depan dada.

"Makin suka lah, liat aja tuh ownernya ganteng parah." Aku mendengus, aku pikir Agus akan mendukungku. Anak itu malah ngibrit mendekati Dzaki, mau gak mau aku mengekor dibelakangnya. 

"Halo, Mas Dzaki ya?" Agus menjulurkan tangan pada Dzaki yang menatapku dengan senyuman yang tidak bisa ku artikan. 

"Iya, dan lo?"

"Agus, gue Agus, editor lo nanti mas." Agus nampak langsung akrab dengan Dzaki. tidak heran sih, semua orang menjadi teman Agus dimanapun ia berada. 

"Nanti lo bakal dianterin Kansa sama Mba Runi ke lantai atas, tempat casting talent buat project ini." Dzaki mengangguk dan berterimakasih pada Mas Boim. 

Dengan gugup yang berhasil aku tutupi dengan masker kesehatan, aku menggiring Dzaki untuk naik lift menuju lantai 5. Agus berbasa basi selama lift berpindah dari satu lantai ke lantai lainnya. Lift berhenti dilantai 4, Agus harus kembali bekerja. Tapi melihat Mba Runi ikut turun aku jadi panik sendiri.

"Lo gak ikutan naik mba?" 

"Gue mau ambil beberapa form dulu, nanti gue susul." lift kembali menutup, sesaat setelah mba Runi tersenyum pada Dzaki. Tampaknya wanita yang katanya akan menikah bulan depan ini juga terpikat pada Dzaki. 

"Kenapa tinggal satu lantai sih, gue kan gak bisa lama-lama berduaan sama lo." Aku menjaga jarak dari Dzaki, aku memiliki alasan logis kenapa aku menjauhinya di tempat sekecil ini.

"Inget protokol Ki, meskipun udah mulai mereda." 

"Cewek keras kepala kayak lo bisa kejangkit virus ya? kenapa dulu gue gak berhasil bikin lo kejangkit meskipun tiap hari kita nempel?" Sial, aku ingin menyemprot wajahnya dengan desinfektan. wanita manapun mungkin akan terpaku ditatapan sedemikian dekat oleh laki-laki ini, tapi tidak mempan padaku yang tau seberapa licik Dzaki. 

Pintu lift terbuka perlahan, aku mendapati Diaz sedang menatapku dan Dzaki bergantian. Posisi Dzaki sedang menatap ke arahku dengan badan sedikit menunduk, menyesuaikan tinggi badanku. 

"Oh hai, Diaz kan?" Diaz hanya mengangguk pada Dzaki, kemudian menarikku menjauh dari manusia itu. Aku pikir Diaz sedang berperan menjadi pangeran penyelamatku, ternyata ia langsung mengambil buku notes yang masih ada didekapanku, yang sebenarnya buku kecil itu penuh dengan catatan tangan Diaz. 

"Gue mau cek konsep lagi, lo anterin Dzaki ke ruangan casting." Aku mengangguk dengan senyum yang dipaksakan. Mode profesional! apapun masalah pribadi yang terjadi diantara aku dan Dzaki, itu tidak boleh mengganggu kehidupan profesional kami. aku harus menghadapi ini, toh tidak selamanya aku akan menghadapi cowok macam Dzaki ini. 

"Ruangannya ada disana." Aku menunjuk ruangan yang cukup besar diantara ruangan ruangan kaca lainnya dilantai 5. Dzaki mengekor dibelakangku, dan untungnya saat itu juga Mba Runi muncul dan ikut masuk ke ruangan. 

"Calon talent kita lumayan banyak, yang casting hari ini ada 20 orang."Aku mengambil catatan itu dari Mba Runi. Demi mengalihkan perhatianku dari Dzaki, aku memeriksa satu persatu data-data mereka. Sementara itu Dzaki mengetuk meja dan mengelusnya sedemikian rupa, ia duduk dengan santai dibalik meja itu dan meluruskan padangannya kedepan. Aku juga menyodorkan beberapa berkas pada Dzaki, tapi ia tidak sekepo aku yang ingin tahu orang-orang yang sudah mendaftar untuk casting hari ini. Dzaki menata rapi berkas itu didepannya, lalu memainkan pulpen dengan gestur tidak sabaran. 

Belum habis aku memeriksa data mereka, Mas Abe muncul untuk memberitahu kami beberapa calon talent sudah berdatangan. Aku, Mba Runi dan Dzaki ambil posisi masing-masing. Mas Abe adalah director divisi empat. Ia sudah siap dengan kamera di belakang kami. 

Satu persatu peserta casting mulai masuk ke dalam ruangan, mereka semua tampak seperti model berjalan, sangat sesuai dengan kriteria penampilan yang diinginkan Dzaki. 

"Steffani Agasty" Mba Runi memanggil mereka sesuai dengan urutan data yang kami pegang. Ini pertama kalinya aku menjadi semacam juri yang akan menentukkan nasib 20 orang dihadapanku ini, sayangnya dari mereka semua hanya 5 orang yang akan dipilih. Namun tak ada satupun tampang mereka yang mengecewakan. 

"Gue mau, ekspresi lo sekarang rada mahal dan angkuh." Dzaki saat mode serius sama menyeramkannya dengan Diaz. ia menatap lekat-lekat cewek bernama Steffani di depan kami. Namun belum sampai beberapa detik, Dzaki langsung mencoret terang-terangan data cewek itu dengan gerakan super jelas. 

"NEXT!"  

UNTOUCHABLE EX !Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang