(PRA CERITA) 3. KAWIN LARI?

438 26 27
                                    

***

"Ini salahmu yo!" Hidungku kembang kempis, wajahku menghijau lalu membiru, "Pokoknya, semua kerugian, kamu yang bayar! Aku ndak mau ikut-ikut."

Duh, Gusti. Badanku sakit semua. Kepalaku cenat-cenut, ujung bibirku berdarah, rambutku yang disanggul separuh sudah ndak berbentuk. Pergelangan tanganku? Keduanya diikat dengan tali bersimpul mati.

"Kamu itu terlalu lama jadi teratai, sampai-sampai lupa di mana letak kepalamu."

Sikut Suma tak sengaja menoyor kepalaku saat dia berusaha melepaskan ikatan tangannya, sampai-sampai aku bisa melihat kunang-kunang di atas kepalaku.

"Oh, aku hampir lupa. Teratai, kan, memang ndak punya kepala?"

Sebuah senyum tengil menghiasi bibirnya sebelum digantikan oleh ekspresi malas dalam sekejap. Matanya melirikku atas-bawah. Tak ada tawa berbunyi 'haha!' darinya. Dia juga ndak menggodaku seperti biasa, tuh? Wajahnya memang menggelap, tapi wajahku segelap wajahnya sekarang. Apa-apaan dia? Dia bahkan ndak minta maaf? Oo, dasar laki-laki buaya darat yang ndak punya adab.

Aku ndak takut! Aku pun langsung menggigit tangannya saat dia lengah, *"Kwamu ywang ndawk puwnya kepwala! Ini namanya kekerasan dalam rumah tangga, buaya gila!" ("Kamu yang ndak punya kepala!")

"TERATAI JELEK, KECIL, JOROK!" Wajah Suma *Sableng ikut membiru, "Bidadari macam apa kamu ini?" Dia mengibas-ngibaskan tangannya dengan jijik lalu menggigit tanganku. Jadi wajar kan kalau aku menyerangnya dengan kepalaku untuk membalasnya? Lihat saja Suma. Aku akan menjadi banteng yang menggila. Ikatan di tangan kami lambat laun mengendur karena tak ada satu pun di antara kami yang mau mengalah. Di sinilah aku menyadari bahwa kami benar-benar saling membenci satu sama lain.

*Sableng: Gila.

Oh? Penampilan Suma kini mengenaskan. Dia babak belur, seolah habis dipukuli oleh raksasa kembar. Matanya memar, sudut bibirnya berdarah, tangannya diikat lagi seperti tanganku. Kami sedang berjalan menuju Kahyangan Hapsari, ditemani oleh para pengawal di sisi kanan-kiri kami. Mereka berusaha menahan bahu kami dan mengikuti gerakan kami yang tak bisa ditebak.

Saat bahu kami saling beradu, para pengawal akan berteriak seperti ini; "Putri, Putri, Putri! Pangeran, Pangeran, Pangeran!" sambil memegangi lengan kami sekuat tenaga.

Lalu, ketika kaki kami saling menginjak, yel-yel yang mereka ucapkan berubah menjadi; "Pangeran, Pangeran, Pangeran! Putri, Putri, Putri!" sembari mempererat tali yang mengikat tangan kami dengan ilmu mereka.

Aku meronta-ronta, meminta belas kasihan supaya mereka mau melepaskan ikatan simpul mati yang membelenggu tanganku. Namun, pengawal Kahyangan Hapsari yang cueknya minta ampun tak akan menanggapi rengekan seorang Teratai Kecil. Makanya, aku hanya bisa pasrah dan mengikuti langkah kaki mereka.

Ndak butuh waktu lama untuk sampai di Kahyangan Hapsari. Aku meringis saat melihat reruntuhan gapuranya, lalu merinding ketika bertemu pandang dengan Batara Indradi.

Kupejamkan mataku erat-erat sambil mengambil ancang-ancang untuk berlutut walaupun hatiku memberontak. Aku bahkan sudah siap untuk mendapatkan hukuman petir yang katanya sangat menyakitkan.

Dhuh, aduh, aduh. Aku ingin meminta maaf sebelum semua yang kubayangkan menjadi nyata dalam sekejap mata. Untung, untung, untung, dia tetap menjadi angan-angan.

Aku membuka sebelah mataku dan membiarkan mata lainnya tertutup; seperti orang yang sedang berkedip. Lalu, bibirku membola tanpa peringatan karena Batara Indradi ndak sendiri. Batara Barat Aji sedang berdiri di sampingnya. Aku juga melihat sosok Batara Rojo alias kakeknya Si Suma yang sedang mengangkat dagunya dengan tatapan tak terbaca dan Batara Lintang yang janggut putihnya dikepang.

SUMA JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang