7. BANING DAN ANGGREK PUTIH

321 17 7
                                    

***


Aku masih menempel di punggung Suma Tikta seperti kucing liar yang hinggap di leher tuannya. Kueratkan cengkeramanku pada jubah tipisnya, lalu segera membersihkan bekas air liur di ujung bibirku.

"Turun." Helaan napas Suma Tikta yang terdengar tidak menyenangkan langsung menyapa telingaku. "Turun, tolong?" Akan tetapi, ketika aku tak kunjung merespons permintaannya, Ia mengulanginya.

Dan yha, meski aku hanya bisa melihat bagian belakang kepalanya, aku tahu kalau Suma Tikta sedang memasang wajah galak. Alih-alih menjawabnya, aku langsung melompat turun dan membuat bunyi 'Geduprak!'

Aku hendak berdiri di sampingnya, namun Ia menahan tanganku sembari bergerak maju. Lha? Kenapa yha ini? Apa di matanya aku terlihat seperti seekor domba yang hanya tahu cara memakan tumbuhan?

"Maaf, anda siapa?" Suma Tikta membulatkan suaranya di hadapan pria berambut putih yang menjeda perjalanan kami. Dia memaksaku untuk tetap diam di belakangnya. Kok dia bisa tahu sih, kalau aku ingin berdiri di depannya dan menahan tangannya seperti dia menahan tanganku?

Pria berambut putih tertawa lagi. Dia membelai tusuk kondenya, lalu mondar-mandir sambil mengangkat dagunya. "Ndoro Suma Tikta yha?"

Dia menyatukan tangannya, "Salam." Senyumnya secerah sinar mentari, "Ah? Hamba bukan siapa-siapa, kok, Ndoro. Ndak ada untungnya bagi Ndoro kalau hamba menyebutkan nama hamba di sini. Tapi, Ndoro juga ndak akan rugi kalau mengetahui jati diri hamba. Yha, tergantung Ndoro saja, mau pilih yang mana? Heuheu." Jawaban Si Pria Tua terkesan tidak serius. Bibirku pun membola saat mendengarnya.

Suma Tikta mengatupkan bibirnya rapat-rapat selama beberapa saat. Wajahnya seperti orang yang sudah kehilangan minat untuk berbicara dengannya.

Mungkin inilah mengapa pria tua itu berakhir memperkenalkan dirinya tanpa persetujuan Suma Tikta, "Nama hamba Baning, Ndoro."

"Salam," Si Suma Tikta ikut menyatukan tangannya, lalu matanya bergerak ragu, "Ki Baning?" Dia berjalan mundur dan membuatku meniru gerak-geriknya. Aku yakin, Baning tidak menyadarinya karena gerakannya selembut tekstur kain Pacar Harum.

"Ki Baning," sapaku sembari tersenyum ramah. Aku menggeser lengan Suma Tikta dengan sikuku agar aku bisa berdiri di sebelahnya. Kali ini dia membiarkanku maju selangkah-dua langkah.

"Ki tahu ndak, jalan menuju gua yang ada di gunung Padma? Kami sudah mengitari seisi hutan, tapi hutannya terlalu luas. Ndoro Pangeran sepertinya juga lupa jalan menuju ke sana, Ki."

Baning menggeleng lemah dengan wajah tertekuk, "Maaf, Ndoro Senjani."

"Ndoro Ajeng Senjani." Suma Tikta mengoreksi ucapannya tanpa diminta.

"Hamba hanyalah pendatang dari daerah antah berantah yang tersesat." Entah mengapa, ucapan Baning terdengar palsu. Ekspresinya pun dibuat-buat. Ia menyentuh hidungnya sekali. Baning, oh, Ki Baning. Kalau ndak pandai bersandiwara yha ndak usah akting, dong?

Lihat itu? Air muka Suma Tikta langsung masam. Yha habisnya gimana ya? Aku saja sadar kalau ucapan Baning ndak bisa dipegang. Apalagi Suma Tikta?

"Dia bohong," bisik Suma Tikta tanpa suara. Bibirnya dibuka, ditutup, dibulatkan, dibentuk jadi kotak, segitiga, segi lima. Matanya dikerjapkan sekali. Walaah, walaah, untung aku bisa membaca gerakan bibirnya. Coba kalau ndak?

SUMA JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang