***
Segalanya dimulai dari nol lagi, seperti sedang menjalani kehidupan baru. Padahal, tak ada perubahan yang signifikan di dalam hidupku selepas kepergian Suma Tikta menuju keraton Bhuwana. Buktinya aku masih menjadi Senjani yang gemar berburu mangga-mangga muda di taman asoka tuh? Senjani yang doyan ketawa-ketiwi ndak jelas dan membuat Ayah darah tinggi sampai mau mati.
Hong bilahong bilaheng. Helaan napas pertama terdengar.
Gusti, Gusti. Lantas apa yang membuat batinku terus bergejolak? Aku seperti api yang menunggangi angin, tetapi ingin menjadi kekasih hatinya laut. Mampus kan? Apalagi bagi seorang gadis centil yang kepalanya terbuat dari tempurung siput sepertiku. Ndak kok? Rasanya bukan seperti mau mati. Aku hanya bosan dan kesepian. Ini seperti memakan wajik yang ndak ada gula merahnya, seperti meminum kopi purba tanpa sedikit sentuhan susu kambing. Hambar-hambar gimana gitu lho?
Hong bilahong bilaheng. Helaan napas kedua berhembus lembut dari bibirku.
Rambutku tergerai burai menyentuh rerumputan. Langit biru adalah satu-satunya pelipur lara yang setia menemani. Kuangkat setangkai bunga asoka kecil tinggi-tinggi hingga Ia menutupi awan putih, lalu menurunkannya perlahan untuk menghisap nektarnya. Dengan alami, mataku terpejam beberapa saat. Aku berusaha mengosongkan pikiranku tetapi aku gagal dalam percobaan pertama. Lalu, terjadi sesuatu yang tak kuduga-duga.
Wajah Suma Tikta sekonyong-konyong muncul di benakku. Aku sampai terdiam dibuatnya. Pasalnya, kehadirannya terasa begitu nyata. Terlalu nyata untuk dianggap sebagai khayalanku semata. Di sana dia sedang tertawa nakal sembari membelai kepalanya.
"Sudah puas menggunduli taman asoka? Selera yang aneh ..." Ini persis ucapannya ketika pertama kali melihatku menghisap nektar bunga asoka.
Suara tawanya lambat laun menghilang. Hilang, hilang, menghilang. Menyisakan sebuah pertanyaan yang tak bisa dijelaskan oleh akal sehat. Aku berusaha untuk menemukan jawabannya dengan cara membuka mataku, namun aku tak mampu. Hanya helaan napas ketiga yang tahu.
Sebuah selendang pun menimpa wajahku dengan suara Anjani sebagai pengiring setia.
"Cuci lagi Dinda. Ini masih ada nodanya."
Aku bangkit dan beringsut-ingsut memindahkan keranjang cucian yang sudah menumpuk menuju danau hitam. Alisku terangkat sebelah ketika sadar bahwa tak ada Iteng maupun Wereng yang mengawasi kami.
Saat menoleh, aku kaget karena Anjani mengekoriku. Tumben? Biasanya sehelai rambutnya pun tak nampak setiap kali aku mencuci pakaian dan selendang kami di danau hitam?
"Cepatlah Dinda. Jangan menyeret-nyeret kakimu seperti itu. Aku tak ingin melihat matahari terbenam di danau terkutuk itu." Dia melipat tangannya sembari mendongakkan dagu. Ekor matanya melirikku dengan tajam tetapi bermartabat.
"Sabar to, Anjani? Berat ini lho?" Bibirku mencap-mencep, namun nada bicaraku justru jenaka alih-alih diwarnai oleh ribuan keluhan. "Bukankah matahari terbit dan matahari terbenam itu sama saja? Mereka adalah matahari yang sama. Yang membedakan hanyalah arah terbit mereka. Seperti hitam dan putih, Anjani ..."
"Panas ..."
"Panas gimana, Anjani? Lha wong kanan-kiri kita ini dipenuhi sama pepohonan, rerumputan yang hijo hijo gini? Hayo?" Tawa kecil terus menerus meluncur dari bibirku, terutama ketika aku berjongkok. Kakiku kupijakkan di atas bebatuan yang paling dekat dengan bibir danau.
Dengan telaten, jarikku kuangkat sedikit sebelum mulai mencuci satu persatu pakaian kami, termasuk selendang milik Anjani yang katanya masih ada nodanya. Oh, lala. Semilir angin meniup-niup rambutku, membuatnya goyah hingga sehelai dua helai pun menutupi mataku dengan cara yang tidak menyenangkan. Ada pula helaian rambut yang ndak sengaja termakan olehku ketika bibirku mangap-mangap.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMA JINGGA
FantasyMARI BERKELANA MENUJU DUNIA DONGENG. Di dalam buku usang ini, kamu akan bertemu dengan Dewa, bidadari, manusia, dan lainnya. Temukan AKU dan KAMU di sini, Suma. *** Sebuah roman komedi yang bikin sakit hati, "SUMA JINGGA." *** Semua orang yang ting...