***
"Kamu lupa caranya berkedip ya?"
Mata jernih Suma Tikta bertemu dengan bola mataku yang nampak seperti kelereng di tengah laut. Aku tak lagi mendengar nada meremehkan dari suaranya walaupun sudut bibirnya diangkat dengan jijik. Makasih yho, Suma Tikta. Kamu sudah menyadarkanku dari lamunanku. Telingaku pun telah berhenti berdengung.
Refleks, mataku mengerjap; "Ndoro Pangeran ada-ada saja. Yha ndak mungkin lah Senjani lupa cara berkedip? Kalau mau berkedip yo tinggal berkedip saja."
"Siapa tahu?" Dia mengangkat bahunya acuh tak acuh, lalu menghindari tatapanku dengan tergesa sambil melipat bibirnya.
Aku terus menatapnya dengan niatan mengajaknya berbicara, akan tetapi, kepalaku yang kosong ini tak bisa diajak kompromi. Aku bahkan membutuhkan waktu lebih untuk mencerna memori asing yang tadi muncul di kepalaku tanpa permisi.
"Apa lagi?" tanyanya dengan suara rendah setelah menghela napas, "Jangan berhenti di tengah jalan." Tangannya berhenti di depan tanganku. Kukira dia akan menyentuh lenganku. Eh, ternyata yang dia lakukan hanyalah menyentuh kedua bahuku, memutar tubuhku, lalu menggeserku ke kiri agar dia bisa lewat.
Tolong catat ini di prasasti, yo? Berbanding terbalik dengan raut wajahnya yang tak bersahabat, dia melakukannya dengan lembut.
Sadar bahwa ungkapannya lebih halus dari sekadar kata 'Minggir' atau sepenggal kalimat tak lengkap berbunyi 'Kucubit kamu,' aku pun menuruti permintaannya. Mumpung dia sedang berbaik hati. Ya, 'kan?
Pandanganku lalu beralih pada pohon ramping dan rerumputan yang setia menemaninya. Kini jaraknya hanya beberapa jengkal dari kami. Ndak terasa, yho? Padahal, tadi Si Pohon masih berdiri di seberang sana.
"Ndoro, Ki," Aku nolah-noleh ke belakang sembari menatap Suma Tikta dan Baning lekat-lekat, "Kok anggrek itu ada di dalam pot tembikar? Sedangkan yang lainnya malah menempel di batang pohon? Pantas saja ndak kelihatan. Lha kecil begini?"
Seperti orang yang ndak pernah melihat bunga anggrek, aku berjongkok di hadapan pot tembikar berwarna cokelat. Bentuknya mirip kendi, namun moncongnya lebih longgar. Di dalamnya ada tanaman anggrek putih yang entah kenapa terlihat ganteng, alih-alih cantik. Aneh yo pikiranku? Tapi beneran lho? Itulah kesan pertamaku pada anggrek putih di dalam pot tembikar.
Sementara, anggrek-anggrek putih yang tumbuh di batang pohon nampak seperti gadis-gadis bangsawan cantik dan pemalu. Ada perasaan asing tak asing yang hinggap di hatiku ketika jemariku menyentuh kelopak para anggrek. Senyum manis pun terbit di wajahku.
"Ndoro Ajeng suka bunganya?" Suara serak-serak basah milik Baning menyapa telingaku lembut.
Aku mengangguk antusias sambil memamerkan deretan gigiku, "Iya. Senjani suka, Ki."
"Kalau begitu bawalah anggrek putih yang ada di dalam pot, Ndoro. Anggap saja sebagai tanda terima kasih hamba karena kalian telah membantu hamba." Baning tersenyum singkat sembari melirik bunga anggreknya.
"Lho? Kok Senjani yang disuruh bawa? Bukannya Ki Baning mencari-cari bunga ini sampai tersesat untuk membawanya pulang?"
Aku benar-benar ndak habis pikir. Bibirku refleks terbuka separuh. Namun, Baning justru menggeleng dan tertawa, "Hamba hanya khawatir mereka layu karena ndak ada yang merawat mereka, terutama bunga kecil di dalam pot. Yang tumbuh di batang pohon adalah anggrek liar. Jadi, aku tak begitu mengkhawatirkan mereka."
Ia menghela napas, "Tapi, rupanya kekhawatiranku tak berarti. Sepertinya ada orang baik yang menyiramnya setiap hari." Bahunya diangkat dengan santai.
"Kenapa Ki Baning membiarkan Siput Jelek ini membawa anggrek di dalam pot, alih-alih mempersilakannya memetik beberapa anggrek liar?"
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMA JINGGA
FantasyMARI BERKELANA MENUJU DUNIA DONGENG. Di dalam buku usang ini, kamu akan bertemu dengan Dewa, bidadari, manusia, dan lainnya. Temukan AKU dan KAMU di sini, Suma. *** Sebuah roman komedi yang bikin sakit hati, "SUMA JINGGA." *** Semua orang yang ting...