9. GUA DAN PUISI TEKA-TEKI

316 11 0
                                    

***

Jantungku berdebar ganjil ketika senyum Suma Tikta terbit. Lesung pipit yang belum pernah kulihat sekonyong-konyong muncul di pipinya. Jangan salahkan aku karena baru tahu. Habis gimana yho? Lha dia lho jarang senyum?

Aku memalingkan wajahku sambil melipat bibirku dengan perasaan yang rumit. Duh, aku kenapa yho? Mules aku, mules.

Lalu, telingaku tahu-tahu dijewer pelan. Mataku pun tahu-tahu menatapnya tepat dengan segala ketidaksengajaan yang mengelilingi kami.

"Penakut." Dagu Suma Tikta terangkat sampai-sampai hidungnya terlihat lebih bangir dari biasanya. Sebelah alisnya dinaikkan.

"Masa Ndoro Pangeran ndak takut?" Aku memiringkan kepalaku supaya Suma Tikta peka, supaya tangannya itu ndak menjewer-jewer telingaku lagi. Kebiasaan dia.

"Ndak tuh? Memangnya kamu?" Dia memandangku dengan tatapan orang tinggi hati, "Sampai pucet gini," lalu menyentuh daguku.

Gusti Pengeran, jantungku berdebar janggal lagi. Dhag, dhig, dhug, dheg, dhog. Ia terdengar seperti ulekan yang beradu dengan cobek saat sedang mengulek sambal. Mataku membulat, bibirku melongo.

Aku ndak terserang penyakit mematikan, 'kan? Lho, lho, lho, lututku yho mendadak lemas, ini lho? Jangan, dong? Aku masih berusia tiga belas tahun. Masa depanku masih panjang!

"Sudah? Sudah selesai bengongnya? Jangan membuang-buang waktu Ndoro Pangeran. Guanya ada di sana, bukan di wajah Ndoro Pangeran!" cibir Suma Tikta sambil mencubit pipiku. Walaah, walaah, Senjani. Apa sih, yang kamu harapkan dari Suma Tikta?

"Iyhooo, iyhoo. Ini Senjani mau jalan ke dalam gua kok? Ini Senjani udah ndak bengang-bengong kok? Jadi orang itu jangan galak-galak lah, Ndoro Pangeran. Salah-salah bisa sial lho nasibnya?" Aku setengah mendumal, setengah memaklumi. Aku bukannya mendoakan yang jelek-jelek. Kalimat terakhir meluncur dengan alami dari bibirku dan aku ndak bisa mencegahnya. Jangankan mencegah? Lha, menghentikannya saja aku endak bisa kok?

Aku pun langsung berdiri. Niatnya sih hendak memasuki mulut gua. Akan tetapi, gerakan tangannya lebih gesit dari yang kubayangkan.

Tak heran jika dia bisa menarik tanganku dan menahanku agar aku tak mangkir dari sisinya.

"Ndoro Pangeran duluan. Tempatmu di belakang." Dia maju beberapa langkah, lalu tangannya yang semula menggandeng tanganku dia lepaskan perlahan.

"Ndoro, Ndoro, anggreknya gimana? Masa ditinggal di depan mulut gua?" Kepalaku nolah-noleh ke arah bunga anggrek putih pemberian Baning.

Tanpa menjawabku, dia berbalik arah untuk menggendong potnya. Nampaknya dia tak kesusahan sama sekali. Padahal, beuhh, beratnya bukan main.

Mata Suma Tikta bergerak ke arahku, lalu ke mulut gua. Kepalanya yang turut digerak-gerakkan membuatku berpikir bahwa dia sedang menyuruhku mengikuti langkahnya.

Aku lantas memasuki mulut gua dengan penuh kehati-hatian. Sebentar-sebentar langkahku kujeda hanya untuk melihat stalaktit dan stalagmit yang telah menjadi dekorasi langit-langit gua. Sedikit-sedikit aku berhenti hanya untuk mengamati sekitarku.

SUMA JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang