5. SIPUT DAN KANCIL

325 15 7
                                    

***

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

***

Suma Tikta dan abdinya berjalan mendahuluiku dan Iteng. Kami tertinggal di belakang, dan aku tiba-tiba panik, mengkhawatirkan hal yang sebetulnya ndak penting-penting amat.

"Ndoro, Ndoro Pangeran! Kediaman kami yang di sebelah sana lho? Kenapa Ndoro berjalan di depan kami?" Aku berlari kecil sambil memeluk manggaku, "Nanti ... nanti, Ndoro salah masuk. Nanti ... nanti, Ndoro malah masuk ke kediaman orang la-"

Aku tersentak karena Suma Tikta menghentakkan kakinya. Dia membalikkan badan dan menghempaskan bawahan pakaiannya. Oh, ya. Dia ndak mengenakan apa pun sebagai atasan. Seperti yang sudah kubilang, tubuhnya dipenuhi oleh perhiasan alih-alih dililit kain. Pakaian laki-laki memang begitu.

Lihat? Wajahnya semerah tomat. Dia ini sedang tersipu-sipu atau marah, sih? Aku bingung. Tapi, dari caranya menahan dan menghembuskan napas, aku bisa menarik kesimpulan bahwa Suma Tikta geram padaku. Geram kenapa yo? Ah, ndak tahu lah.

"Siput Kecil ini diberi makan apa sih? Cerewet betul, ckckck," ucapnya sebelum melengos. Dia mempercepat langkahnya, lalu menoleh sambil berkata, "Jaga jarak dariku atau ..." tanpa bisa menyelesaikannya.

Alisnya menebal, urat-urat lehernya yang berwarna biru terlihat, "Diam. Diam di sana ..." Jarinya gemetar saat dia menunjukku dan memandangku rendah, "Oh, aku tak percaya ini. Aku tak percaya. Orang-orang Pacar Harum seperti orang kampung." Kepalanya digelengkan beberapa kali dengan bola mata yang diputar. Badannya pun ikut bergerak heboh. Sudah seperti orang kebakaran jenggot saja.

"Apa? Ayam kampung?" Perutku berbunyi ketika kata 'Kampung' meluncur dari bibirnya. Bayangan tentang ayam kampung yang dibakar di atas kayu bakar langsung memenuhi kepalaku. Aku mengusap-usap perutku, lalu menelan air liurku. Sekarang aku ndak hanya ingin makan mangga. Aku juga ingin makan besar; Makan ayam kampung dan kawan-kawannya.

"Ndoro, Ndoro, Senjani penasaran. Apa Ndoro pernah makan *ayam sangasanan?"

Kain bawah Si Suma Cantik terhempas lagi. Langkah-langkah kakinya kini secepat anak kancil. Aku, anak siput, menempel padanya seperti buntut yang ndak bisa dipisahkan dari tuannya.

"Kata Ayah, *ayam sangasanan hanya bisa dimakan oleh anggota kerajaan. Ndoro Pangeran mau ndak, mengambilkan satu potong ayam untuk Senjani? Satu sajaa? Oh? Senjani juga ingin mencicipi sup bebek." Aku menggaruk-garuk rambutku karena gatal. Biasa, lah. Belum keramas dua hari.

"Apa yho namanya kemarin? *Jukut harsyan??" lanjutku sambil mengernyitkan kening untuk mengembalikan nama makanan lezat yang ikut hilang dari ingatanku.

Tanpa aba-aba, Suma Tikta membalikkan badannya. Secepat kilat, dia mencubit bibirku. Aku ndak merasakan sakit, sih. Cuma, ya ndak nyaman gitu, lho? Orang lagi ngomong, kok bibirnya malah diikat?!

SUMA JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang