4. SENJANI

502 18 13
                                    

***

Kesadaranku sempat hilang lantaran dibuat terkejut setengah mati oleh kesialan yang dibawa Suma, lalu aku dibangunkan oleh suara gedebug kencang. Rupanya tubuh kami masih berguling tanpa henti di dalam *lubang samsara. Aku pun menoleh ke kanan dan ke kiri tanpa bisa melakukan apa-apa. Yha, walau sebenarnya aku ingin menggaruk sanggulku.

*Lubang samsara: Lingkaran reinkarnasi.

Mana? Katanya kami akan menjalani kehidupan di alam fana? Lha kok kami ndak kunjung sampai? Kok ingatanku belum hilang?

Aku ingin bertanya pada tubuh Suma yang menggelinding di depanku. Namun, suaraku menghilang seperti suara putri duyung yang ditukar dengan kaki manusia. Dhuh, adhuh. Aku ingin menyusul Suma dan menepuk-nepuk pundaknya. Namun, tanganku lunglai, tak bertenaga.

Lho? Aku kenapa ini?! Saat aku sedang mengangkat kedua tanganku dengan iseng, mereka berpendar di dalam gelapnya lubang samsara, seperti jiwa yang akan menghilang tanpa jejak.

"S-" Ya ampun? Aku masih ndak bisa memanggil Suma. Ya ampun? Aku ingin menjerit karena tiba-tiba tubuhku menyusut. Sebentar, yang jatuh itu ... apa?

Mataku langsung membola saat sadar bahwa benda yang jatuh dari tubuhku adalah kelopakku sendiri. Ternyata, aku malah kembali ke bentuk asalku, yaitu bunga teratai. Aku refleks menggoyang-goyangkan tubuhku dan membuat dua kelopakku ikut terjatuh. Kali ini aku ingin memastikan sesuatu.

Saat kelopak pertamaku gugur, aku sempat melihat warnanya sekilas. Aku ini Teratai Jingga. Jadi kelopakku seharusnya berwarna jingga kan? Namun yang kulihat warnanya bukan jingga. Takutnya aku yang salah lihat. Maka dari itu, aku harus melihatnya lagi.

Satu, dua.

Kelopak kedua dan ketigaku telah gugur. Kutatap mereka lekat-lekat agar bentuk dan warnanya tak lepas sedikit pun dari pandanganku. Lalu, oh Gusti, aku terperanjat dibuatnya,  sebab kelopak keduaku yang gugur berwarna setengah jingga setengah hitam. Sedangkan kelopak ketigaku berwarna hitam.

Aku jadi resah. Pertanda apa yo, ini? Aku tiba-tiba teringat dengan ucapan Batara Rojo. Katanya dia akan mengutuk kami kan?

GAWAT! Bisa mati kami! Aku memasang wajah kecut meskipun ndak ada seorang pun yang bisa melihatnya. Lagi pula apa sih yang diharapkan dari sekuntum bunga? Mau memasang beragam ekspresi pun ndak akan kelihatan.

Aku tak tahu berapa lama lagi kami harus berguling-guling seperti tikus. Yang jelas ingatanku mulai dihapus. Mulanya aku melupakan alasan kami berguling-guling di dalam lubang samsara. Lalu, aku melupakan nama tempat ini. Selanjutnya, yang kulupakan adalah namaku, cerita hidupku, dan makhluk yang sedang berguling di depanku.

Ketika kami hampir sampai di alam fana dan jiwa kami akan menitis menjadi manusia, aku berubah menjadi bidadari yang linglung. Aku tak tahu siapa diriku. Aku bahkan tak bisa menjawab pertanyaan sederhana seperti, "Kamu ini nyata atau ndak sih?"

Siapa aku?
Aku ini ... apa?

Kenangan tentang Jingga Elakshi, Si Teratai Jingga, dan Setengah Dewa Suma berubah menjadi buih. Ia telah menghilang SEUTUHNYA. Padahal kelereng keabadian masih berada di dalam inti jiwaku.

SUMA JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang