***
Hujan turun seperti bintang jatuh walau langit masih berwarna biru. Guntur-guntur kecil yang menyapaku tadi pagi kini kembali, hanya untuk membuatku mundur-mundur sampai menabrak kursi kayu di beranda.
Percakapan panjang dua keluarga telah berakhir dengan gurauan demi gurauan. Yha, memang akulah yang mengajak Suma Tikta mangkir dari ruang tengah untuk bicara. Bicara ... berdua saja. Namun, sebelum ke sini, aku sempat menuju bilikku dan membawa keluar bunga anggrek putih dengan susah payah.
Ada masalah penting yang sempat kulupakan, dan tadi aku ndak punya banyak kesempatan untuk memberitahunya.
"Ck? Apa yang kamu takutkan, Senjani? Itu cuman guntur??"
Suara remeh Suma Tikta mengaburkan lamunanku, menarikku kembali ke dunia nyata, di mana hanya ada aku dan dia di tempat kami berpijak.
Ada setitik kelembutan dibalik keangkuhan yang selalu diagung-agungkannya lewat mata, hidung, bibir, sampai bahasa tubuhnya. Tangannya dilipat ke belakang, lalu tanpa sengaja menyingkap sebuah keris yang tersembunyi.
"Ndak takut, Ndoro Pangeran. Senjani cuman kaget," jawabku sambil mengalihkan pandanganku darinya. Entah mengapa aku uring-uringan. Menatap hidungnya yang bangir saja mampu membuat bibirku manyan-manyun.
Padahal, sikap jahatnya padaku selama ini bisa kutanggapi dengan berbagai candaan dan ledekan santai. Lha, kenapa saat dia tidak melakukan kesalahan besar, hatiku malah jadi ndak karuan begini? Aku yakin, ada yang salah dengan diriku hari ini.
Mungkin karena kemarin aku sempat makan brutu ayam bakar sehingga aku menjadi pikun dalam sekejap dan memikirkan hal yang tidak-tidak? Atau mungkin, ini semua terjadi karena .... aku telah meninggalkan jiwaku bersama dengan kenangan aneh kami di dalam gua?!
Aku menggeleng cepat lantaran tak mau kehilangan kewarasanku.
"Tumben, kamu ndak banyak bicara?" Ia memiringkan wajah dengan alis terangkat, lalu duduk di atas kursi kayu.
Aku menoleh, mendapatinya menepuk kursi di sampingnya. Wajahnya mendongak, lalu matanya menatapku terang-terangan hingga aku merasa ciut. Demi Dewa, aku kenapa seh? Kok ndak jelas begini? Hadhuh. Ndak, Senjani. Endak.
Kuletakkan bunga anggrek putih di atas meja kayu dan duduk di sebelahnya.
"Anggrek putih ini aneh, Ndoro. Lihat? Ada gading gajah kecil atau ... kukunya atau apa gini, lho? Buat Ndoro Pangeran aja yho?" Dengan hati-hati, aku menyentuh benda ganjil itu, "Masih lembek-lembek gimana gitu lho, Ndoro. Ini apa seh?"
Suma Tikta menyentuh bunga anggrek tanpa ragu, lalu menggelengkan kepala, "Kalau kamu tanya aku, lantas aku harus bertanya pada siapa?" Dia memutar bola matanya, "Jadi gitu ya, Ndoro Ajeng? Begitu ada yang salah dengan bunganya, kamu langsung bersedia menyerahkannya?" Kekehannya terdengar judes namun konyol, terutama ketika dia membuat ekspresi mata jereng dan memberi penekanan pada sebutan 'Ndoro Ajeng.'
Ini ... beneran Ndoro Pangeran Suma Tikta yang kukenal bukan, sih? Kok lama-lama dia jadi sering menggodaku? Padahal, awalnya dia cuman punya satu reaksi untuk beragam ekspresi yang terlukis di wajahnya.
Aku menggeleng tak setuju.
"Ndak gitu, Ndoro. Senjani teringat perkataan Ki Baning yang .."
"... Apa yang seharusnya menjadi milikku, akan tetap menjadi milikku. Ki Baning hanya membangun jembatan takdirku. Yang itu, kan?" Matanya menatapku malas dengan helaan napas yang sarat akan makna.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUMA JINGGA
FantasyMARI BERKELANA MENUJU DUNIA DONGENG. Di dalam buku usang ini, kamu akan bertemu dengan Dewa, bidadari, manusia, dan lainnya. Temukan AKU dan KAMU di sini, Suma. *** Sebuah roman komedi yang bikin sakit hati, "SUMA JINGGA." *** Semua orang yang ting...