6. HUTAN

284 14 6
                                    

***

Hilang sudah keinginanku untuk memotong mangga setelah kembali ke kediamanku dengan tangan kosong. Kakiku kuseret-seret dengan lesu. Suma Tikta betul-betul menghilang dan aku tak tahu harus mencarinya ke mana lagi. Sangat disayangkan. Padahal, aku baru saja mendapatkan teman. Tetapi, dia menghilang.

Aku menghela napas panjang. Di saat-saat seperti ini seharusnya aku menangis, 'kan? Kuhentikan langkahku sejenak untuk menunggu hujan di pelupuk mataku jatuh membasahi pipi. Namun, yang jatuh hanya setetes. Sisanya? Tak ada. Aku meraba-raba wajahku dengan kecewa karena pipiku kering kerontang.

Tak lama kemudian, aku tiba di depan pekaranganku. Bibirku kugigit kecil sampai dia terluka dan keringat dingin mulai membasahi telapak tanganku. Maju, mundur, mundur, maju. Masuk jangan, yho?

Kupejamkan mataku sambil membuat keputusan dalam perenungan singkatku. Lalu, memberanikan diri untuk menggerakkan kakiku selangkah demi selangkah. Oh, lala, jantungku berdegup kencang.

Setelah memasuki pekarangan, aku bergegas menuju pintu kediamanku dan membukanya tanpa ragu, "Ayah, Ayah? Gawat! *Ndoro Pangeran Suma Tikta menghilang," racauku sembari merangsek masuk.

*Ndoro Pangeran: Tuan Pangeran.

Aku bisa menyaksikan bagaimana wajah-wajah kemerahan orang tua kami memutih dalam hitungan detik. Iteng, Anjani, dan Wereng belum sampai, begitu juga dengan ketiga saudara Suma Tikta dan para abdi. Dengan perasaan campur-aduk, aku meremas kain pakaianku.

"Apa yang terjadi?" Ayah berdiri dari tempat duduknya. Wajahnya menegang, urat-urat di pelipisnya bermunculan.

"Sebaiknya kita tunggu mereka kembali dulu." Ayah Suma Tikta, Bhre Candra Medhang, justru setenang air yang mengalir. Matanya memang menyiratkan kekhawatiran. Namun, senyum teduhnya tidak luntur.

Aku menggeleng sambil menggaruk-garuk rambutku, "Senjani ndak tahu. Kami sedang makan wajik, 'kan? Lalu, Ndoro Pangeran berlari. Wanita. Iya, ada seorang wanita. Wa-wanitanya ... memakai caping." Asal kamu tahu, tak mudah bagiku untuk menjelaskannya, "Ndoro Pangeran mengejar wanita itu." Ingatanku seperti tusuk konde yang dipatahkan menjadi dua bagian.

Aku menoleh ke kanan dan ke kiri, diam-diam menunggu suara derit pintu yang menjadi penanda bahwa beberapa orang yang kutunggu telah datang. Aku bukannya ingin lari dari masalah. Aku justru berharap bahwa mereka bisa memberi kami petunjuk tentang ke mana Suma Tikta pergi. Sebab, aku benar-benar kehilangan jejaknya. Alih-alih berlari kencang layaknya seekor kancil, sepertinya tadi Suma Tikta terbang, deh? Habisnya, cepat banget hilangnya?

Ah, sepertinya Dewi Keberuntungan sedang berpihak padaku. Buktinya, harapanku langsung terkabul. Batang hidung Anjani, Iteng, Wereng, dan ketiga anak Bhre Candra Medhang sudah nampak. Aku tidak tahu kapan mereka sampai. Yang jelas, ketika aku mengalihkan pandanganku, wajah mereka sudah seputih wajah-wajah di hadapanku.

Lalu, tanpa banyak bicara, Bhre Candra Medhang mengarahkan kami untuk mengikutinya. Dia beranjak dari tempat duduknya sambil menyembunyikan kedua tangannya di belakang punggung. Dadanya naik-turun saat dia mengambil napas. Dia pun mondar-mandir sembari bertanya, "Apakah Adi Bhre Pacar Harum bersedia membantuku mencari Suma Tikta?"

"Tentu aku bersedia, Kakang Bhre," jawab Ayah tanpa ragu.

Setelah mengiyakan permintaan Bhre Candra Medhang, ayahku langsung bergerak cepat untuk membantunya. Hampir semua abdi kami diboyong olehnya tanpa niatan untuk membuang-buang waktu. Mereka menjadi pengiring dua keluarga bangsawan untuk mencari anak Bhre yang hilang. Iya, rencananya kami akan mencari Suma Tikta ke seluruh penjuru Pacar Harum.

SUMA JINGGATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang