4. The Happy Ending

605 104 2
                                    

Menikah bukanlah suatu impian Amara. Bukan karena dia membencinya atau takut atau alasan trauma lain.

Amara hanya tidak terlalu memikirkannya.

Ia tidak begitu peduli dengan standar budaya Indonesia bahwa usia menikah wanita harus segini segitu.

Ia nyaman dengan hidupnya. Tak ada masalah berarti. Well, selain jatuh bangun membuat perusahaannya.

Hidup Amara terhitung nyaman sejak kecil. Ia berasal dari keluarga berkecukupan.

Hal tak menyenangkan terjadi saat Ia SMP, Ibunya meninggal dalam tidurnya.

Ayahnya menyibukan diri, Amara jadi sering menghabiskan waktunya di rumah Joanna yang juga merupakan tetangga rumah.

Sebenarnya Oma Amara akhirnya tinggal bersamanya, namun Oma Amara memiliki bisnis furnitur yang membuatnya sibuk dan pada akhirnya tetap menitipkan Amara pada Ibu Joanna yang seorang Ibu Rumah Tangga.

Saat SMA, Ayahnya menikah lagi namun itu bukan masalah berarti bagi Amara, karena Ayahnya juga menemukan perempuan baik, tapi bukan berarti Amara sanggup memanggil orang lain dengan sebutan Mama selain Mamanya.

Ayahnya memiliki rumah sendiri, berpisah dengannya dan Oma. Saat kuliah di semester akhir, Omanya meninggal karena usia.

Amara sudah berdamai dengan itu semua. Sekarang, memiliki sahabat baik dan juga kekasih membuat hidupnya terasa lengkap. Itu juga sudah lebih dari cukup.

Kembali tentang menikah, Amara juga tidak pernah menuntut Jevano untuk segera melamarnya karena mereka berdua memang sepakat untuk lebih fokus pada karir terlebih dahulu. Maka pada saat Ia baru menyelesaikan urusannya di kamar mandi dan menuju ruang makan mereka, Amara dibuat terkejut dengan Jevano yang berlutut dan menggenggam kontak cincin yang sudah terbuka.

Di belakang Jevano ada Joanna yang berdiri dengan senyum lebar. 

Amara mendekat, berdiri di hadapan Jevano.

"Aku tahu kamu nggak suka yang bertele-tele. tapi untuk kali ini aja, biarin aku untuk ungkapin semua hal yang selalu mau aku ungkapin tentang kamu," Jevano menarik napas dalam sebelum melanjutkan kalimatnya.

"Jujur, aku langsung jatuh cinta sama kamu pada pandangan pertama. Detik itu juga aku bertekad bahwa kamu adalah perempuan yang akan membersamai aku sampai tua nanti.

Nggak mudah buat bersama sama kamu, awalnya aku kesel, tapi aku selalu inget gimana pertama kalinya aku ngeliat kamu dah gimana darah aku langsung ngalir cepat cuma karena ngeliat kamu senyum.

Perjalanan kita panjang, untuk bisa sampai kesini, dan hari ini aku meyakinkan diri aku, dan juga meyakinkan kamu, meminta kamu untuk jadi istriku, untuk jadi seseorang yang pertama kali aku lihat pas aku bangun tidur, untuk jadi yang selalu menjadi sandaran dan memberi sandaran disaat melelahkan kita, untuk jadi rumah satu sama lain.

Jadi, Amara Sasmita, Would you marry me?" Jevano tersenyum.

Bagi Amara, itu adalah senyuman paling menawan dari Jevano. Matanya lembut menatap mata Amara.

Amara melirik ke arah Joanna, seakan ingin memberitahukan bagaimana perasaannya dengan tatapan mata.

Joanna balas tersenyum lebar, lantas mengangguk memberi isyarat persetujuan restu dirinya sebagai sahabat Amara.

"Yes, My Prince," Amara menjulurkan tangan kanannya, membiarkan Jevano memakaikan cincin di jari manis.

Setelahnya mereka berpelukan. Jevano mengecup dahi Amara penuh perasaan. 

Ia sangat bahagia. Ia tulus mencintai Amara.

-----

Setelah acara lamaran kecil itu, Joanna berpamitan lebih dulu, membiarkan Jevano dan Amara menikmati hari bahagia mereka. 

Got A Type [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang