21. One Last Time

591 102 5
                                    

Sentuhan terakhir, Amara melapisi bibirnya dengan lipstik warna alami. Sesuai kesepakatan dadakan semalam. Hari ini Ia akan menghabiskan waktu bersama Jevano.

Amara juga tidak terlalu mengerti mengapa Ia menyetujui permintaan Jevano. Ia hanya menyetujuinya begitu saja.

Jihan berdiri diambang pintu, seakan memeluk sisi kusen, menatapnya dengan senyuman yang menenangkan. Seakan mengerti kegelisahan Amara.

"Sudah siap semua?"

Amara mengulum senyum, meng-iya-kan pertanyaan Jihan.

Sementara Jevano sudah siap di halaman luar, menunggu disamping mobil. Amara mengetahui ada sedikit jarak antara Jevano juga Jihan. Tentu saja, laki-laki itu menjadi salah satu alasan kedua putinya bertengkar.

Jihan membawa Amara ke dalam pelukan sebelum mengantar gadis itu untuk keluar rumah.

"Hati-hati sayang, kalau sudah sampai, kabarin Ibu ya?"

Lagi, Amara hanya memberikan anggukkan, Ia mengecup pipi kiri dan kanan Jihan sebelum berbalik menghadap Jevano yang bersandar di mobil yang Amara yakini, laki-laki itu sewa.

Mata Jevano berbinar, padahal tak ada yang spesial dari tampilan Amara hari ini. Ia hanya mengenakan kemeja putih polos dan celana jeans. Rambutnya digulung asal dan menyisakan sisa anak rambut juga helai poni disisi wajah tirusnya, namun Jevano menatapnya seakan Ia seorang dewi yang turun ke bumi.

"Cantik," Jevano memujinya tulus.

Semburat kemerahan tak bisa disembunyikan Amara. Jevano memang bermulut manis.

Jihan tak lagi ada diantara mereka, pamit undur diri setelah memberi senyum singkat pada Jevano dan Jevano yang menunduk sedikit memberi rasa hormat.

Mereka kini duduk berdampingan di dalam mobil dengan Jevano yang berada dibalik kursi kemudi.

"So what are we gonna do?"

Jevano menaikkan sebelah alisnya dengan pertanyaan riang dari Amara.

"Why?" ditatap keheranan, Amara mengernyitkan dahinya. Sedikit memahami sikap Jevano, Amara berdeham melegakan tenggorokan.

"I just make my promise," Amara memberi jeda.

"Act like we are still in love."

Damn! Its hurts! For Jevano, off course.

Tidakkan Jevano benar-benar harus malu? 

Amara terlalu sempurna.

Itu yang selalu ada dalam benak Jevano saat Ia pertama kali melihat Amara secara langsung. Wajah tirus dengan tatapan mata yang hangat. Ia ingat bagaimana pertama kali dirinya memberanikan diri menyapa Amara.

Amara tampak mudah dekat dengan orang, namun nyatanya itu adalah sopan santun yang Ia pegang teguh sejak dulu. Amara tidak terlihat angkuh, namun Ia tak mudah disentuh.

Itu yang Jevano tahu dari banyak omongan tentang Amara. Hampir semua laki-laki memujanya, maka memiliki Amara adalah prestasi besar untuk Jevano.

Amara selalu melebihi dari ekspektasinya, kadang Jevano jadi merasa rendah diri. Hal itu membuatnya bekerja lebih keras agar sama bersinarnya dengan Amara, dan tentu saja Amara mendukung penuh apa yang dilakukan Jevano.

Tidak ada sedikitpun pembenaran dari apa yang Jevano lakukan. Tidak bisa dan tidak mungkin. Ia adalah sebenar-benarnya cacat dalam hidup Amara. 

Kesempatan kedua adalah impian yang tak berani Ia bayangkan namun Ia dapatkan. Jevano kira akan lebih mudah, nyatanya Ia hanya makin menyakiti wanita terkasihnya.

Got A Type [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang