Amara sangat menyadari jika Jemian memberi jarak dengannya. Mereka sesekali saling menyapa jika tidak sengaja berpapasan. Namun semuanya terasa canggung. Jujur, Amara merindukan Jemian yang hampir setiap hari mengiriminya konten garing.
Jemian nampaknya tak ingin cari masalah jika harus sedekat dulu sebelum Mara kembali dengan Jevano. Baik Mara,Jemian dan Jevano sangat tahu jika Jevano sangat cemburu dengan Jemian sekarang. Jika dulu Jevano tenang-tenang saja karena Amara tidak memiliki teman dekat lain, maka kali ini kasusnya berbeda.
Amara juga menyadari jika Jevano menjadi lebih posesif terhadap dirinya. Begitu juga dengan Amara, Ia memiliki kecemasan tersendiri pada Jevano. Ia menyadari ada yang salah, tapi mungkin ini hanya awalan, karena mereka sama-sama mulai memperbaiki.
Amara memejamkan matanya kuat. Ada rasa yang tidak benar, tapi Amara tidak tahu apa. Perasaannya tak menentu.
Ketukan pintu menyadarkan Amara. Ia membenarkan posisi duduknya.
"Masuk," sahutnya kemudian.
Sepertinya Jemian berumur panjang. Laki-laki itu baru ada dalam pikirannya, dan kini berdiri di hadapannya.
"Sella nggak ada di kursinya, jadi saya langsung masuk."
Amara menganggukkan kepala, Jemian berjalan mendekat ke Amara, kini mereka hanya berjarak meja kerja.
"Saya mau nyerahin proposal buat di cek," jemian menyodorkan jilidan kertas pada Amara. Amara menerimanya, dan mulai membuka jilidan halaman itu.
"Hows your day, Je?"
Jemian mengangkat sebelah alis. Agar ragu jika Amara bertanya padanya, karena mata gadis itu fokus pada proposal yang tengah dibaca. Biasanya juga Amara hanya akan memintanya menaruh di meja tanpa langsung membacanya.
Keputusan Amara untuk membacanya lebih dulu membuat Jemian enggan memutar balik keluar dari ruangan itu. Rasanya agak kurang sopan.
"Je?"
Baik. Jemian yakin jika Ia yang diajak bicara karena kini mata Amara mengarah padanya, mengesampingkan proposal yang semula berada salam genggaman.
"Ah! as good as usual, i geuss?" Jemian agak kikuk. Mereka benar-benar tidak bicara hampir satu bulan. Agak aneh dengan percakapan basa-basi seperti ini.
Amara mengangguk. Sumpah, Ia hanya benar-benar penasaran dengan kabar laki-laki itu. Tidakkah aneh merasa asing dengan seseorang yang bahkan kalian pernah bersandar di bahunya?
Setelahnya tidak ada pembicaraan. Amara juga tak tahu harus bicara apa lagi, Ia hanya merasa ingin melihat Jemian agak lebih lama.
"Gimana proposalnya, Bu?" Jemian mengembalikkan topik pada pekerjaan mereka.
"Saya pelajarin dulu lebih lengkapnya, nanti saya kabarin," Amara menutup proposal pemberian Jemian, kemudian dengan matanya Ia menunjukkan beberapa tumpukkan kertas di sisi lain meja, memberitahu Jemian jika Ia punya tumpukkan tugas prioritas.
Jemian mengangguk kemudian. Ia berpamitan untuk kembali ke ruangan.
"Jemian," panggilan Amara membuat Jemian kembali memutar tubuh menghadap Amara yang semula sudah menuju pintu keluar.
"Ya?"
"We are good, Right?"
Oke. Ini semakin terasa canggung. Kenapa Amara harus secara gamblang mempertanyakan hal itu.
Apa yang baik dari melepas seseorang yang kalian suka untuk kembali ke mantan pacar yang punya sejarah sebagai bajingan? Selain sifat naif Jemian yang membiarkan Amara memilih kebahagiaannya, hubungan Jemian dan Amara nampaknya butuh waktu untuk menjadi teman yang betulan teman.
KAMU SEDANG MEMBACA
Got A Type [END]
FanfictionSemua obrolan penuh penilaian dari masyarakat yang mendadak paling bijak itu bukan tanpa alasan. Aktris sekaligus penyanyi kesayangan Indonesia -Joanna Adline- terlibat skandal dengan jevano, Fotografer ternama yang digandrungi banyak wanita karena...