5. Penawaran Ayah Sembilan

138 102 165
                                    

Sembilan menatap sendu langit-langit kamarnya, pikiran nya berkecamuk, namun cowo itu tak tau harus melakukan apa.

Matahari pagi semakin meninggi sementara dia masih saja merebah diranjang tanpa niat beranjak. Cowo itu sudah tak selera lagi bersekolah, kejadian kemarin berhasil membuat nya enggan menginjak bangunan itu lagi. Bukan! Bukan karna skandal dengan Si guru BK berkepala botak itu, tapi tatapan menghakimi para siswa yang menghujamnya bertubi-tubi.

Suara ketukan tergesa tiba-tiba tertangkap daun telinganya, cowo itu terkesiap dari lamunannya. Ia melangkah malas ke pintu depan. Membuka pintu didepannya dengan wajah datar dan mata sayu. Namun, melihat siapa yang terpampang berdiri didepannya setelah membuka pintu, mata cowo itu membulat kaget.
"Atril? Lo ngapain disini?"

"Ya ngajak lo berangkat sekolah barenglah." Gadis kuncir kuda itu lantas memandangi Sembilan dari ujung kaki hingga kepala. "Lo ko belum siap-siap sih? Liat dong ini udah jam berapa?!"

Cowo urakan itu membuang muka malas, lantas berderap menuju sofa dan merebahkan diri disana. "Males, gue gak mau sekolah lagi, gue mau berhenti sekolah aja!"

Atril menghampiri Sembilan sembari berkacak pinggang. "Jangan ngada-ngada lo, cepet ganti baju sana! Pokoknya lo tetep harus sekolah hari ini!" Paksa Atril.

"Dih lo ko ngatur sih! Gue gak mau. Titik." Sembilan tetep keukeuh dengan keputusannya.

Atril menarik tangan Sembilan memaksanya bangun. "Gak mau tau, pokoknya lo harus sekolah!"

Cowo itu menolak, ia mempertahankan tubuhnya ditempat, karena itulah sekuat apapun Atril menarik, ia tak akan mampu membangunkan Sembilan dari posisi berbaringnya.

Atril tetap berusaha, menarik Sembilan dengan kedua tangannya sekuat tenaga. Gemas melihat Atril yang tak kunjung menyerah. Cowo itu menarik tangan miliknya, membawa Atril yang tengah menggenggam tangannya itu terhuyung jatuh diatasnya.

Sembilan membatu, karna jarak mereka yang sedekat ini. Ia bisa merasakan nafas gadis itu yang menderu, wangi vanila gadis itu, dan ukiran wajahnya yang menawan.

Menyadari posisi mereka yang ambigu, Atril buru-buru bangun, kembali berdiri dengan kikuk dan kaku. Gadis itu langsung terdiam membatu, dengan pipi merah tersipu karena malu. Siapa coba yang tidak malu jika ada diposisinya?

Seketika hening beberapa saat.

"Kenapa coba lo maksa banget gue buat sekolah?" Tanya Sembilan, memecah keheningan diantara mereka.

"Karna gue peduli sama lo, gue gak mau lo berhenti sekolah."

Jawaban itu mengundang Sembilan terbangun duduk dari berbaringnya, dan menoleh kearah Atril. Cowo itu tersenyum tipis. "Wah gini ternyata rasanya dipeduliin teman."

Namun senyum itu hanya bertahan sesaat, karna setelahnya, ia tiba-tiba memasang wajah muram lagi. "Gue takut tril. Gue takut sekolah." Ujarnya, perau, sembari menunduk dalam menatap lantai.

"Takut kenapa? Takut dimarahin guru bk itu lagi gara-gara rambut gondrong lo? Tenang gue bisa nyukur rambut lo sekarang jug-"

"BUKAN" Sergah Sembilan, memotong ucapan Atril.

Jeda sesaat. Atril tak mengucapkan sepatah katapun, menunggu Sembilan menumpahkan apa yang dirasakannya.

"Gue takut sama tatapan orang, mereka menatap gue seakan gue itu bukan manusia. Seakan gue itu monster berbahaya yang perlu dihindari." Curahnya kemudian, suaranya terdengar parau dan penuh pilu.

Atril menekuk lututnya, menumpunya dilantai guna mensejajarkan dirinya dengan Sembilan. "Liat gue lan."

Sembilan mengangkat kepalanya, menatap lurus kedepan. Matanya kembali bertemu dengan manik hitam jernih itu. Sembilan merasakan degup jantungnya berpacu cepat, mata gadis itu sangat jernih, seakan ia mampu terus tenggelam didalamnya tanpa ingin menyelamatkan diri.

SembilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang