17. Terungkap

99 37 147
                                    

"Ini kontrak beasiswa yang perlu kamu tanda tangani." Bu Serlina menyodorkan map berisi lembar-lembar dokumen itu ke seberang meja.

Atril menarik nafas, memperhatikan map itu dengan pikiran berkecamuk.

"Kamu tinggal tanda tangan disini, dan beasiswa ini resmi kamu dapatkan." Bu Serlina mengarahkan sembari tersenyum simpul.

Atril tersenyum kecut, ia tak tau mengapa perasaannya gundah gulana begini alih-alih girang. Apa yang salah dengannya? Bukankah ini yang dia inginkan selama ini?

"Pak Pratama sangat senang kamu mampu mengontrol anaknya. Dia juga menitipkan maaf karna terlambat mengurus beasiswa untuk kamu. Maaf karna baru mengurus nya setelah satu bulan berlalu, padahal diperjanjian waktu itu pak Pratama menjanjikan beasiwa kamu akan di urus dalam waktu seminggu." Jelas Bu Serlina menggebu-gebu.

Atril tersenyum kaku. "Iya bu tidak papa."

Atril termenung, lalu kembali menatap dokumen diatas meja yang sudah menanti untuk ditandatangani itu. Ia bahkan sudah melupakan perjanjian sebulan lalu yang telah ia sepakati dengan Pak Pratama. Atril tak tau bagaimana bisa ia melupakannya? Bukankah ini termasuk yang di inginkannya? Bisa menempuh pendidikan setinggi mungkin tanpa mengkahwatirkan biaya?

"Tril, ko kamu melamun?"

Atril tersadar dari lamunannya mendengar suara Bu Serlina. "Nggak papa bu, akan saya segera tanda tangani." Atril meraih pulpen disamping tangannya masih dengan perasaan ragu.

"Tril? Maksudnya apa?"

Atril terperanjat, spontan menoleh kesumber suara dibelakangnya. Tepat diambang pintu masuk, Sembilan berdiri disana dengan wajah tercengangnya.

Atril membatu. Darahnya berdesir hebat dengan jantung yang berpacu dua kali lebih cepat.

"Gue nanya, maksudnya apa?!" ulangnya dengan suara yang terdengar parau. Rasa kecewa tercetak jelas diraut wajahnya yang mengeruh.

Sepasang mata hazel itu, yang biasanya menatapnya bersinar penuh binar kini meredup dalam kelam. Ada luka yang terpancar jelas disepasang iris Sembilan. Begitu sendu hingga membuat hati Atril mencelos pilu dalam kubungan rasa kaget dan juga bersalah.

Atril meremas roknya erat. Lidahnya mendadak kelu untuk berucap. "Gue bisa jelas-"

BRAK!

Pintu ditutup keras-keras. Sembilan berlari menembus keramain. Menabrak setiap orang yang dilaluinya. Hatinya berdenyut perih, mencecapi kenyataan pahit itu. Semesta sudah cukup menghianatinya dengan memberinya pedih nestapa tak berujung, ia pikir Atril adalah hadiah dari takdir, dikirimkan tuhan untuk mengobati perih yang dideritanya. Menjadi pelipur lara-laranya yang tak berkesudahan. Menjadi pelangi ditengah hampa kelabu hidupnya. Namun kini, ia harus kembali ditampar kenyataan. Bahwa Atri ternyata bukan pelangi apalagi pelipur lara, Dia juga menjadi salah satu sumber pedih dihidupnya yang sekelam malam

Anggara menghadang Sembilan ketika cowo urakan itu berlalu dihadapannya. "Lo kenapa lan?" Menyaksikan raut suram itu tentu saja mengundang tanya dalam benaknya.

Sembilan menepis kasar tangan Anggara, lanjut berlari melewati Anggara tanpa menghiraukan tatapan bingung orang-orang. Mendorong satpam yang berupaya menghentikannnya lalu melompati pagar begitu saja.

Anggara tercenung menatap bingung punggung Sembilan yang menghilang dibalik pagar. Jelas sekali raut cowo absurd itu sebelumnya tampak sumringah ketika hendak menemui Atril. Namun kenapa raut nya tadi tampak begitu terluka?

Ia membalik badan, kebetulan langsung bersitatap dengan Atril yang usai berlari terengah-engah bertumpu pada lututnya.

"Lo liat Sembilan?" Wajah gadis kutu buku itu tampak panik.

SembilanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang